Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pemadaman Listrik Besar-besaran di Irak Saat Suhu Panas hingga 50 Celcius

BASRA, KOMPAS.com - Ratusan warga Irak turun ke jalan untuk memprotes pemerintah karena pemadaman listrik yang meluas di Baghdad dan provinsi di selatan negara di tengah suhu panas ekstrem.

Di kota kaya minyak Basra, para demonstran memblokir jalan raya dan membakar ban pada pekan lalu, untuk menekan pemerintah setempat agar menangani pemadaman listrik parah dan layanan publik yang buruk, seperti yang dilansir dari Al Jazeera pada Kamis (8/7/2021).

"Listrik merupakan kebutuhan pokok. Kekurangan itu (pasokan) merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, termasuk hak atas kesehatan, perumahan yang aman, pendidikan, dan lainnya," kata Ali Al-Bayati, anggota Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Irak.

Pemerintah Irak memperpendek jam kerja menjadi kurang dari 5 jam sebagai kebjikan untuk merespons lonjakan suhu panas ekstrem yang mencapi 50 Celcius di kota Basra pada siang hari.

Suhu panas di Irak diikuti dengan pemadaman listrik yang menyebabkan protes kekerasan, terutama di Irak selatan karena pemerintah berturut-turut gagal mengatasi masalah yang berulang dalam beberapa tahun.

Pemadaman listrik, kurangnya layanan, dan korupsi yang merajalela juga menjadi pendorong utama terjadinya protes massa anti-pemerintah yang meletus pada 2019, di seluruh Baghdad dan Irak selatan yang sebagian besar penduduknya Syiah.

Pada saat itu, ratusan orang tewas dan ribuan orang terluka dalam aksi protes. Beberapa tuntutan dipenuhi sebelum demonstrasi berakhir pada Maret 2020 karena munculnya pandemi Covid-19.

Hak dasar

Selama protes baru-baru ini, demonstran di Basra meneriakkan, "Tidak, tidak untuk korupsi" dan "Semua pihak adalah pembohong".

Massa mengancam tindakan eskalasi, jika pemerintah tidak mengambil tindakan.

"Kami menderita dengan cara yang sama seperti yang kami alami pada 2018, 2019, dan 2020. Kurangnya layanan, buruknya infrastruktur, dan pemadaman listrik yang berkelanjutan," ujar Abdelkarim Ahmed (25 tahun) di Basra, mengatakan kepada Al Jazeera.

"Itulah sebabnya kami di sini meminta pihak berwenang untuk memenuhi keluhan kami dan beri kami hak dasar kami," tuntut Ahmed.

Selama beberapa pekan terakhir, puluhan demonstran berkumpul di depan perusahaan utama listrik di distrik Tawaisa Basra, menuntut layanan lebih baik.

Gubernur Basra, Asaad Al-Eidani memperingatkan masyarakat dalam pidatonya yang disiarkan di televisi lokal pada pekan lalu, bahwa dia akan mengisolasi pembangkit listrik Basra dari seluruh Irak, jika pemeirntah pusat tidak menyelesaikan krisis.

Ahmed mengancam, jika pemerintah menutup telinga, warga Basra akan menggelar protes massal.

“Kami hanya ingin listrik. Hal sederhana yang gagal diatasi oleh kelas politik yang korup sejak tahun 2003,” katanya.

Teman Ahmed dan sesama pengunjuk rasa, Abbas Hassoun (24 tahun), mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pasokan listrik mencapai rumahnya hanya 6 jam secara terputus-putus dalam sehari, di mana di dalam rumah dihuni 16 orang, termasuk ayahnya yang sakit dan anak-anaknya.

“Kami telah kehilangan hak dasar. Pemerintah perlu menyusun strategi jangka panjang untuk ini. Basra punya banyak uang, tapi tidak digunakan untuk rakyatnya,” kata Hassoun.

Pemdaman

Untuk menghindari pemadalam listrik di rumah, Sami Mohsin (38 tahun) mengatakan dia biasanya mengajak anak-anaknya berkeliling naik mobil pada jam-jam sibuk di sore hari.

"Mobil terkadang satu-satunya sumber AC, tapi mahal dan merusak mesin. Saya menghabiskan 200 dollar AS akhir-akhir ini untuk memperbaikinya," kata Mohsin.

Ia menjelaskan, meski ia membayar generator, itu hanya cukup untuk memasok lampu dan ventilator.

"Beberapa orang pergi keluar Irak seslama musim panas untuk melarikan diri dari ini, tapi saya tidak dapat melakukan itu," ucapnya.

Pemadaman listrik memperburuk keadaan saat banyak pemuda Irak yang pengangguran atau berpenghasilan rendah.

Satu-satunya sumber bantuan mereka selama musim panas adalah menuju ke tepi sungai Shatt Al-Arab, di mana mereka berkumpul untuk mendinginkan diri.

“Saya tidak punya pekerjaan dan saya tidak mampu membayar 10.000 dinar Irak (sekitar Rp 99.600) untuk mengakses kolam renang pribadi," ujar Mohammed Ali sambil duduk di tepi sungai.

"Jadi, saya datang ke Shatt al-Arab setiap hari untuk berenang dan menikmati waktu bersama teman-teman,” tambahnya.

“Saya berharap mereka (pemerintah) dapat membangun fasilitas olahraga termasuk kolam renang. Kita harus mendapatkan akses gratis karena kita tinggal di kota terpanas di Irak. Sayangnya, mereka hanya sibuk menghambur-hamburkan kekayaan negara,” terangnya.

https://www.kompas.com/global/read/2021/07/08/192648070/pemadaman-listrik-besar-besaran-di-irak-saat-suhu-panas-hingga-50-celcius

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke