Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah Matthias, Pria Jerman yang Belajar Bahasa Indonesia demi Bicara dengan Mertua

Mereka membuktikan jika menemukan pasangan hidup tidak lagi harus dari lingkungan atau budaya yang sama di era globalisasi tanpa batas seperti sekarang ini.

Seperti Matthias Steiner berasal dari Jerman, yang menikah dengan Eveline asal Bandung, Jawa Barat dan sekarang mereka tinggal di Melbourne.

"Saya berasal dari Jerman dan dibesarkan di Berlin di mana saya kuliah IT. Pada tahun 2014, saya dapat PR dari Australia dan bekerja sebagai Software Developer," ujar Matthias dalam bahasa Indonesia yang lancar kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.

"Istriku Eveline Steiner berasal dari Bandung. Setelah tinggal beberapa tahun di Amerika Serikat, dia pindah ke Australia pada tahun 2012 untuk kuliah Akuntasi. Saat ini, dia kerja sebagai bookkeeper di sebuah perusahaan di Keilor Park."

Matthias mengatakan ia bertemu Eveline lewat sebuah situs pencarian jodoh CatholicMatch yang menghubungkan lajang di kalangan umat Katolik.

"Setelah kirim pesan-pesan selama beberapa minggu, kita bertemu pertama kali pada hari Valentine 2016 di Princes Bridge, Melbourne," katanya.

Karena keduanya tinggal di Melbourne, komunikasi yang mereka lakukan menggunakan bahasa Inggris, namun Matthias memutuskan belajar bahasa Indonesia dengan serius.

"Motivasi saya belajar bahasa Indonesia adalah bisa berbicara dengan mertua saya dan mengikuti percakapan dalam kelompok orang Indonesia," kata Matthias yang sekarang berusia 42 tahun tersebut.

"Beberapa bulan setelah pacaran kami dimulai, saya mengambil pelajaran dalam bahasa Indonesia seminggu sekali di AIAV (Australian Indonesia Association di Victoria)."

"Mereka menawarkan kelas-kelas dalam bahasa Indonesia yang dijalankan oleh guru-guru Indonesia. Saat ini, saya dapat memahami 90 persen percakapan dan mungkin berbicara 70 persen."

Dengan kemampuan bahasa Indonesia yang dimilikinya, Matthias merasa lebih dekat dengan komunitas KKI (Keluarga Katolik Indonesia) di Melbourne.

Matthias bahkan menjadi prodiakon, yang mendapat tugas khusus selama misa untuk membantu pastor membagikan roti dan anggur dalam komuni.

Ia juga mengaku menjadi banyak mendapatkan informasi baru mengenai budaya dan kehidupan yang berbeda soal Indonesia dari sebelumnya saat ia dibesarkan di Jerman.

"Sebelum bertemu Eveline, saya belum pernah merayakan Imlek dan hanya tahu sedikit tentang Indonesia," katanya.

"Juga Eveline baru belajar orang Jerman selalu harus minum kopi dan makan kue pada sore hari," kata Matthias mengenai apa yang dipelajari oleh istrinya Eveline setelah mereka menikah.

Mengenai budaya lain yang secara umum perlu dipelajari dan penyesuaian adalah misalnya soal ketepatan waktu menghadiri acara.

"Saya seperti banyak orang Jerman suka tiba tepat waktu. Sedangkan di Indonesia, ada jam karet, maksudnya orang tiba terlambat pada acara sosial."

"Kadang-kadang teman istri saya sangat heran kalau kita datang awal. "

Pasangan di Melbourne yang juga menikah campur budaya dan suku adalah Regina Nicole asal Jakarta yang menikah dengan Ilya Voloshin asal Rusia.

Mereka berdua bertemu di China ketika sama-sama sedang kuliah.

"Kami bertemu di tahun 2012, saat itu saya baru memulai S1 sedangkan Ilya melanjutkan S2 di universitas yang sama," kata Regina yang sekarang berusia 26 tahun.

"Kebetulan kami juga berada dalam lingkar pertemanan yang sama sebagai anak baru."

Sekarang Regina bekerja sebagai akuntan pajak sambil melanjutkan pendidikan doktoral, sementara suaminya bekerja sebagai manajer operasional sebuah perusahaan.

Walau berasal dari dua budaya yang berbeda dan bertemu di negara lain, keluarga mereka mendukung hubungan tersebut.

"Kami selama berpacaran beberapa kali berlibur bersama dengan keluarga pasangan untuk saling mengenal," kata Regina lagi.

"Kami sebelumnya memang sudah membicarakan bagaimana kelanjutan hubungan kami selanjutnya, karena kami sama-sama bekerja sebagai orang asing di China, jadi butuh basis yang lebih stabil untuk masa depan."

"Kebetulan saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan S2 di Australia dan saya pribadi tidak menyukai hubungan jarak jauh, maka dari itu kami memutuskan untuk menikah di Hongkong dan pindah bersama ke Australia." katanya.

Menurut Regina komunikasi dan kejujuran menjadi kunci bagi hubungan mereka.

"Untuk bahasa kami komunikasi dengan bahasa Inggris. Memang jurusan yang kami pilih di universitas juga lebih banyak bahasa Inggrisnya."

"Walaupun kami berdua sama-sama lancar berbahasa Mandarin, banyak yang lebih mudah dikomunikasikan lewat bahasa Inggris," jelas Regina.

Regina mengaku jika ia dan Ilya sama sekali tidak memiliki kegemaran yang sama.

"Bahkan soal selera makanan juga berbeda," ujarnya.

"Saya suka pedas, dia enggak bisa makan pedas sama sekali."

"Kebanyakan kalau makanan Indonesia atau Chinese kan juga banyak bumbunya, sedangkan dia lebih suka makanan yang paling pakai garam dan lada," kata Regina mengenai kebiasaan makan mereka.

Regina berbagi pengalamannya bagi mereka yang sekarang terlibat dalam hubungan dengan orang dari suku dan budaya berbeda, tapi masih ragu untuk melanjutkannya.

"Sebenarnya prinsip untuk membuat komitmen dengan siapapun hampir sama, perlunya ada komunikasi dan kejujuran atas bagaimana visi masa depan yang diinginkan," katanya kepada Sastra Wijaya dari ABC Indonesia.

"Mungkin di jaman sekarang banyak yang merasa untuk let it flow [mengalir begitu saja], tapi kami pribadi merasa kalau keterbukaan di awal akan memudahkan menjalani hubungan ke depannya."

https://www.kompas.com/global/read/2021/02/14/215453870/kisah-matthias-pria-jerman-yang-belajar-bahasa-indonesia-demi-bicara

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke