Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
ANAK DAN PENDIDIKAN

Anak Berhadapan dengan Hukum Boleh Tetap Sekolah? Ini Kata Ahli

Kompas.com - 05/04/2024, 16:05 WIB
Aningtias Jatmika,
Yakob Arfin Tyas Sasongko,
Agung Dwi E

Tim Redaksi

Berdasarkan UU SPPA, ABH akan mendapatkan pendampingan dari pembimbing kemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) serta pekerja sosial dari Kementerian Sosial (Kemensos).

Jika dibutuhkan, pendampingan akan dilakukan oleh psikolog atau psikiater, misalnya dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).

Lewat diversi, kata Nahar, para pendamping dapat membantu kedua belah pihak untuk menyepakati penyelesaian konflik.

Hasil kesepakatan itu dapat berupa perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orangtua atau wali, atau keikutsertaan pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) Kemensos.

“Hasil diversi juga termasuk pembahasan pemberian hak pendidikan ABH,” tambah Nahar.
Nahar mencontohkan, dalam banyak kasus, ABH, baik saksi, pelaku, maupun korban, berada di sekolah yang sama. Kondisi ini harus ditangani secara tepat.

Setiap ABH memang tetap harus mendapatkan akses pendidikan. Di sisi lain, kondisi itu sebaiknya tidak menimbulkan masalah baru bagi seluruh pihak. Oleh sebab itu, dibutuhkan peran pendamping untuk memeriksa dan menilai upaya terbaik bagi seluruh pihak.

“Hasil pemeriksaan (para pendamping) akan menjadi pertimbangan, apakah anak ini masih bisa disatukan atau tidak (pada sekolah yang sama)?” ucap Nahar.

Jika tidak memungkinkan, lanjut dia, kegiatan belajar mengajar anak pelaku bisa dilakukan di ruangan terpisah atau di rumah sambil dilakukan pemulihan. Menurutnya, jika pemulihan berjalan dengan baik, kedua belah pihak dapat dipertemukan kembali.

Baca juga: Menilik Urgensi Optimasi Diversi dalam Peradilan Pidana Anak

Nathalina pun berpandangan serupa. Dia merekomendasikan sekolah untuk memberikan layanan homeschooling selama masa pemulihan tersebut.

Dia tak menampik bahwa beberapa sekolah mungkin punya aturan ketat mengenai pelanggaran kedisiplinan yang berpotensi menimbulkan tindak pidana bagi anak, misalnya dengan drop out. Namun, sekolah juga harus lebih bijaksana dengan memberikan pengecualian kepada anak tertentu sehingga pendidikan tetap terlaksana sebagaimana mestinya.

“Institusi pendidikan sebaiknya tidak menjadikan drop out sebagai ‘hukuman’ kepada ABH. Hak pendidikan justru dapat menjadi cara jitu untuk merehabilitasi anak,” kata Nathalina.

Berkaitan dengan itu, Farizal menilai bahwa sekolah juga harus jeli melihat kategori pemidanaan ABH. Jika melakukan perbuatan yang membahayakan jiwa dan dilakukan berulang kali, ABH bisa dipindahkan, tetapi tidak dikeluarkan.

“Sebagai alternatif, ABH bisa dititipkan di LPKS untuk dilakukan pembinaan dan pendampingan hingga anak siap dikembalikan ke sekolah. Betul bahwa anak pelaku harus dipisahkan dengan anak korban dan anak saksi, tapi dikeluarkan, jangan,” tegas Farizal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com