Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
ANAK DAN PENDIDIKAN

Anak Berhadapan dengan Hukum Boleh Tetap Sekolah? Ini Kata Ahli

Kompas.com - 05/04/2024, 16:05 WIB
Aningtias Jatmika,
Yakob Arfin Tyas Sasongko,
Agung Dwi E

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS. com – Jumlah anak berhadapan dengan hukum (ABH) mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang dimuat dalam pemberitaan Kompas.id, Selasa (29/8/2023), sebanyak 3.964 ABH tercatat pada 2017.

Angka tersebut melonjak hampir tiga kali lipat pada 2018, yakni 9.387 ABH. Kemudian, turun menjadi 6,963 ABH pada 2019 dan kembali naik menjadi 8.914 ABH.

Definisi ABH sendiri diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Pasal tersebut menyebutkan bahwa ABH adalah anak yang sedang berkonflik dengan hukum atau sebagai pelaku, anak korban, dan anak saksi dalam tindak pidana. Kategori ABH mencakup usia 12 tahun hingga 18 tahun.

Ragam tindak kriminal yang melibatkan ABH, sebagaimana rekap data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2020, meliputi kekerasan fisik sebanyak 29,2 persen, kekerasan seksual (22,1 persen), pencurian (11,1 persen), kecelakaan lalu lintas (10,6 persen), kekerasan psikis seperti ancaman dan intimidasi (5,5 persen), sodomi atau pedofilia (5,5 persen), aborsi (5 persen), dan pembunuhan (4 persen).

Peningkatan kasus pidana yang melibatkan ABH perlu menjadi perhatian serius seluruh pihak. Selain menekan kasus pidana, pemenuhan hak-hak ABH juga harus diperhatikan.

Pasal 3 UU SPPA pun telah mengamanatkan untuk memenuhi hak anak berkonflik dengan hukum selama proses hukum. Salah satunya adalah memperoleh pendidikan layak.

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar mengatakan bahwa pendidikan merupakan hak dasar yang harus didapatkan anak, termasuk ABH. Hal ini merupakan kesepakatan yang tertuang dalam United Nations Convention on the Rights of the Child (IN-CRC) atau Konvensi Hak-hak Anak (KHA).

“ABH, baik pelaku, korban, maupun saksi, berhak mendapatkan pendidikan di lingkungan yang aman,” tegas Nahar saat ditemui Kompas.com di kantornya, Jumat (15/3/2024).

Nahar menjabarkan, Pasal 3 UU SPPA mengatur bahwa setiap anak dalam proses peradilan pidana memiliki 16 hak yang harus dipenuhi.

Baca juga: Bapas Jakpus Ingin Kerja Sama dengan Yayasan Pendidikan agar Anak Berhadapan dengan Hukum Bisa Tetap Sekolah

Keenam belas hak tersebut adalah (1) hak untuk diperlakukan secara manusiawi; (2) dipisahkan dari orang dewasa; (3) memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; (4) melakukan kegiatan rekreasional; serta (5) bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan derajat serta martabatnya.

Kemudian, (6) tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; (7) tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; (8) memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; (9) tidak dipublikasikan identitasnya; (10) memperoleh pendampingan orangtua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak.

Selanjutnya, (11) memperoleh advokasi sosial; (12) memperoleh kehidupan pribadi; (13) memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; (14) memperoleh pendidikan; (15) memperoleh pelayanan kesehatan; dan (16) memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sembilan anak binaan LPKA Kelas I Blitar yang duduk di bangku kelas 2 (XI) SMA mengikuti ANBK di SMA YP Kodya Blitar, Selasa (29/8/2023)Dok. LPKA Kelas I Blitar Sembilan anak binaan LPKA Kelas I Blitar yang duduk di bangku kelas 2 (XI) SMA mengikuti ANBK di SMA YP Kodya Blitar, Selasa (29/8/2023)

Nahar menilai, hak untuk memperoleh pendidikan merupakan hal penting. Sebab, pendidikan merupakan landasan bagi ABH untuk memperbaiki dan mempersiapkan diri untuk kembali ke masyarakat.

Oleh sebab itu, Kementerian PPPA tidak sepaham jika ABH dipaksa keluar dari sekolah. Hal ini, kata dia, tak hanya merampas hak pendidikan, tetapi juga hak untuk hidup.

“Anak yang masih punya semangat belajar, di-cut semangatnya. Cita-citanya diputus. Ini sama dengan mengakhiri masa depan mereka. Apalagi, jika ditambah dengan stigma dari masyarakat (terhadap ABH) sehingga mereka enggak ada tempat (di lingkungan). Hal ini bisa bikin anak (berniat) mengakhiri hidup karena (merasa) ditolak dan dikucilkan,” jelas Nahar.

Ke depankan kepentingan anak

Hal senada juga disampaikan Pengajar Bidang Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Nathalina Naibaho.

“Saya menyayangkan sekolah yang mengeluarkan ABH, termasuk saksi, meskipun mereka terbukti bersalah,” kata Nathalina lewat saat dihubungi lewat sambungan Zoom, Sabtu (23/3/2024).

Baca juga: Anak Berhadapan dengan Hukum di LPKA Banda Aceh Tetap Terpenuhi Haknya

Nathalina menyoroti, sanksi yang diberikan pihak sekolah kepada ABH sebaiknya mengedepankan kepentingan anak, baik saat ini maupun di masa mendatang.

“Sekolah yang memutus akses pendidikan anak merupakan suatu kekeliruan,” tegas dia.

Aksesibilitas terhadap pendidikan, lanjut Nathalina, juga menjadi salah satu poin penting yang kerap disoroti Kejaksaan Agung dalam peradilan anak.

Sebab, pendidikan merupakan reorientasi paradigma pembinaan anak. Menurutnya, mendidik dan merehabilitasi anak lewat pendidikan merupakan bagian dari reintegrasi sosial untuk mengembalikan anak ke lingkungan sosial.

Dihubungi secara terpisah, JFB Indonesia Legal Consultant Farizal Pranata Bahri mengatakan bahwa sekolah yang memilih untuk tidak mengeluarkan anak berarti memikirkan kepentingan anak, khususnya terkait aspek psikologis.

Menurut dia, ketika mengalami masalah, anak akan memiliki trauma yang berbeda ketimbang orang dewasa. Pemulihannya pun jauh lebih lambat.

“Ketika dikeluarkan, anak akan mengalami trauma berat. Psikologisnya bisa terganggu. Mereka akan semakin merasa berdosa. Hal ini justru bisa memunculkan masalah baru pada anak,” ucap Farizal.

Pengawasan dan pendidikan di sekolah, kata dia, merupakan elemen penting untuk menstabilkan psikologis pelaku dan korban.

Upaya diversi

Mengacu pada UU SPPA, penyelesaian pidana anak wajib berpedoman pada pendekatan keadilan restoratif, yakni penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

Pada prosesnya, seluruh pihak akan mengutamakan upaya diversi, yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi sendiri dilaksanakan bagi tindak pidana dengan ancaman penjara di bawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Ilustrasi pendidikanShutterstock Ilustrasi pendidikan

Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orangtua/walinya, korban dan/atau orangtua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, serta pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Proses ini juga dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial dan/atau masyarakat jika diperlukan.

Baca juga: Peranan Psikolog Disebut Penting dalam Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum

Nahar mengatakan, pada proses diversi, ABH berhak mendapatkan pendampingan. Pendampingan juga menjadi upaya antisipatif terhadap pemahaman dan langkah yang keliru dalam penanganan ABH.

“Masing-masing pihak membutuhkan pendamping untuk berkoordinasi terkait kebutuhan anak,” ujar Nahar.

Berdasarkan UU SPPA, ABH akan mendapatkan pendampingan dari pembimbing kemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) serta pekerja sosial dari Kementerian Sosial (Kemensos).

Jika dibutuhkan, pendampingan akan dilakukan oleh psikolog atau psikiater, misalnya dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).

Lewat diversi, kata Nahar, para pendamping dapat membantu kedua belah pihak untuk menyepakati penyelesaian konflik.

Hasil kesepakatan itu dapat berupa perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orangtua atau wali, atau keikutsertaan pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) Kemensos.

“Hasil diversi juga termasuk pembahasan pemberian hak pendidikan ABH,” tambah Nahar.
Nahar mencontohkan, dalam banyak kasus, ABH, baik saksi, pelaku, maupun korban, berada di sekolah yang sama. Kondisi ini harus ditangani secara tepat.

Setiap ABH memang tetap harus mendapatkan akses pendidikan. Di sisi lain, kondisi itu sebaiknya tidak menimbulkan masalah baru bagi seluruh pihak. Oleh sebab itu, dibutuhkan peran pendamping untuk memeriksa dan menilai upaya terbaik bagi seluruh pihak.

“Hasil pemeriksaan (para pendamping) akan menjadi pertimbangan, apakah anak ini masih bisa disatukan atau tidak (pada sekolah yang sama)?” ucap Nahar.

Jika tidak memungkinkan, lanjut dia, kegiatan belajar mengajar anak pelaku bisa dilakukan di ruangan terpisah atau di rumah sambil dilakukan pemulihan. Menurutnya, jika pemulihan berjalan dengan baik, kedua belah pihak dapat dipertemukan kembali.

Baca juga: Menilik Urgensi Optimasi Diversi dalam Peradilan Pidana Anak

Nathalina pun berpandangan serupa. Dia merekomendasikan sekolah untuk memberikan layanan homeschooling selama masa pemulihan tersebut.

Dia tak menampik bahwa beberapa sekolah mungkin punya aturan ketat mengenai pelanggaran kedisiplinan yang berpotensi menimbulkan tindak pidana bagi anak, misalnya dengan drop out. Namun, sekolah juga harus lebih bijaksana dengan memberikan pengecualian kepada anak tertentu sehingga pendidikan tetap terlaksana sebagaimana mestinya.

“Institusi pendidikan sebaiknya tidak menjadikan drop out sebagai ‘hukuman’ kepada ABH. Hak pendidikan justru dapat menjadi cara jitu untuk merehabilitasi anak,” kata Nathalina.

Berkaitan dengan itu, Farizal menilai bahwa sekolah juga harus jeli melihat kategori pemidanaan ABH. Jika melakukan perbuatan yang membahayakan jiwa dan dilakukan berulang kali, ABH bisa dipindahkan, tetapi tidak dikeluarkan.

“Sebagai alternatif, ABH bisa dititipkan di LPKS untuk dilakukan pembinaan dan pendampingan hingga anak siap dikembalikan ke sekolah. Betul bahwa anak pelaku harus dipisahkan dengan anak korban dan anak saksi, tapi dikeluarkan, jangan,” tegas Farizal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com