Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KILAS

Remaja Jadi Salah Satu Target Penanganan Stunting, Mengapa?

Kompas.com - 10/10/2023, 11:48 WIB
Dwi NH,
Mikhael Gewati

Tim Redaksi

Sementara itu, pada kelompok usia 20-24 tahun, prevalensi KEK pada wanita hamil dan tidak hamil yaitu sebesar 23,3 persen.

Baca juga: Tidak Punya Keturunan Kembar, Apa Bisa Hamil Anak Kembar?

5. Pernikahan dan kehamilan pada usia anak yang mencakup usia remaja

Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 Pasal 7 menyebutkan bahwa pernikahan hanya diizinkan apabila lelaki dan perempuan sudah mencapai umur 19 tahun. Menikah di bawah usia ini dianggap sebagai pernikahan anak yang dilarang.

Pasalnya, usia pernikahan berhubungan dengan status gizi anak bawah lima tahun (balita), terutama soal stunting. Semakin muda usia pernikahan, maka proporsi balita stunting akan semakin meningkat.

Ibu yang menikah pada rentang usia 15-19 tahun memiliki proporsi 42,2 persen anak balita stunting.

Kemudian rentang usia pernikahan 20-24 tahun memiliki proporsi 37,2 persen anak balita stunting, dan rentang usia pernikahan 25-29 tahun memiliki proporsi 33,7 persen anak balita stunting.

Baca juga: Sebulan Menikah, Hana Hanifah Hapus Semua Foto Pernikahan, Kenapa?

Pernikahan anak memiliki implikasi serius pada keluaran (output) kehamilan, seperti kelahiran prematur, bayi dengan berat lahir rendah (BBLR), dan kematian bayi. Kehamilan usia anak secara langsung dapat menyebabkan persalinan lama dan persalinan dengan bantuan.

Secara tidak langsung, persalinan pada usia anak akan meningkatkan risiko terjadinya keguguran. Dengan demikian, anak yang lahir pun dapat berisiko mengalami hambatan pertumbuhan dan perkembangan, yang berakhir menjadi stunting.

Upaya yang dilakukan pemerintah

Remaja sebagai calon orangtua dan agen perubahan memiliki peran yang krusial dalam pencegahan stunting.

Untuk mendukung peran mereka, pemerintah menggencarkan berbagai program guna meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup remaja.

Mengutip buku Stunting-pedia: Apa yang Perlu Diketahui tentang Stunting oleh Tanoto Foundation, Indonesia berada di antara negara-negara dengan kebijakan pemenuhan gizi remaja yang rendah. Dari lebih dari 100 kebijakan terkait gizi, hanya delapan yang dianggap fokus pada gizi, dengan dua di antaranya dibuat khusus untuk remaja.

Baca juga: Andien Ungkap Tips Pola Asupan Gizi untuk 1000 Hari Pertama Anak

Kelompok remaja juga saat ini telah tercakup dalam kebijakan dan program gizi di Indonesia. Hal ini karena remaja termasuk ke dalam kelompok yang paling rentan, sebab mereka bisa putus sekolah, bekerja, menikah, atau hamil umumnya.

Upaya khusus dari berbagai pihak terutama pemerintah diperlukan untuk menjangkau remaja yang rentan. Hal ini juga harus melibatkan peran remaja putri maupun putra guna mendukung kesehatan dan gizi mereka.

1. Suplementasi tablet tambah darah (TTD)

Pencegahan anemia pada remaja menjadi salah satu fokus pemerintah dalam menurunkan angka stunting di Indonesia. Seperti diketahui, anemia atau kadar hemoglobin yang rendah menjadi salah satu pemicu munculnya stunting.

Untuk mencegah anemia pada remaja putri, pemerintah melakukan program Pemberian Tablet Tambah Darah (TTD). Suplemen gizi penambah darah ini biasanya berbentuk tablet atau kaplet atau kapsul yang dapat diperoleh dari program pemerintah atau dibeli secara mandiri.

Program TTD disediakan oleh pemerintah dan didistribusikan kepada kelompok sasaran melalui secara gratis.

Baca juga: Demi Pelayanan Kesehatan yang Baik, Freeport Dukung Pelaksanaan Riskesdas Kabupaten Mimika 2022

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, jumlah remaja putri yang pernah mendapatkan TTD sebesar 22,9 persen. Di Indonesia, sejumlah fasilitas kesehatan (faskes) melaporkan bahwa konsumsi TTD remaja masih sangat rendah.

Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi tentang manfaat dan cara konsumsi TTD bagi remaja putri.

Selain sosialisasi, pemantauan konsumsi TTD perlu ditingkatkan. Pemberian TTD secara mingguan juga perlu dikombinasikan dengan pendidikan gizi tentang anemia dan perilaku makan sehat.

2. Pelayanan kesehatan UKS dan PKPR

Setiap anak usia sekolah dan remaja harus diberikan pelayanan kesehatan agar mereka memiliki kemampuan berperilaku hidup bersih dan sehat, serta keterampilan sosial yang baik.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com