Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ubaid Matraji
Peneliti dan Pengamat Pendidikan

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI)

Refleksi PPDB 2023: Mengurai Biang Kerok Kemelut Sistem Zonasi

Kompas.com - 21/09/2023, 13:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dari sisi akses, mayoritas anak tak dapat jatah bangku di sekolah negeri, karena minimnya kuota kursi yang tersedia. Soal mutu, juga masih terjadi kesenjangan.

Tahun ini, pendaftar PPDB masih saja numpuk di sekolah-sekolah unggulan dan favorit. Bahkan, kini pemerataan kualitas pendidikan kian rancu dengan adanya label sekolah penggerak.

Kehadiran sekolah dengan label “sekolah penggerak” menjadi favoritisme atau stigma unggulan baru.

Mengakhiri ‘sistem seleksi’

Sistem PPDB saat ini terbukti gagal menjamin semua anak mendapatkan haknya untuk bisa memperoleh pendidikan berkualitas.

Bukannya memberikan jaminan, pemerintah malah membuat sistem rebutan kursi. Ironis.

Padahal, UUD 1945 pasal 31 jelas menyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Bahkan, dipertegas dalam UU Sisdiknas Pasal 34 ayat 2, yang isinya mewajibkan pemerintah memberikan jaminan terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

Sebagai contoh di DKI Jakarta. Saat ini, sekolah bebas biaya hanya dinikmati oleh anak-anak yang diterima di sekolah negeri saja.

Sementara itu, setiap tahun, sebesar 52 persen anak lulusan SD yang tidak tertampung di SMP negeri. Sekitar 67 persen anak lulusan SMP tidak dapat diterima di SMA/SMK Negeri.

Anak-anak ini terpaksa masuk ke sekolah swasta, sehingga orangtua mereka harus membayar sendiri biaya sekolah yang cukup mahal.

PPDB Bersama (dengan melibatkan swasta) yang disediakan Pemprov DKI Jakarta hanya mampu menampung 4 persen dari total kebutuhan.

Sistem seleksi PPDB juga mengakibatkan terbengkalainya nasib 4.791 anak di Jawa Barat dan 208 anak di Kota Bogor yang namanya dicoret tidak boleh ikut PPDB.

Bagaimana pula nasib mayoritas anak bangsa yang sudah berjibaku daftar PPDB, tapi berujung pada kegagalan? Saya sebut mayoritas, karena sampai hari ini jumlah kursi yang disediakan di sekolah negeri terlalu minimalis dari total kebutuhan.

‘Sistem undangan’ sebagai Jaminan

Sistem PPDB yang semacam inilah yang jadi biang kerok pemicu kisruh tiap musim awal tahun ajaran baru di sekolah. Karena itu, harus diakhiri. Pemerintah harus bertanggung jawab, janganlah malah sibuk mencari kesalahan orangtua.

Kita sepakat bahwa kecurangan yang dilakukan oleh orangtua tidak boleh dilakukan. Namun, bagaimana dengan kesengajaan pemerintah dalam melepas tanggung jawab soal pendidikan?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com