Guru yang kebetulan adalah mereka yang tidak memperoleh pendidikan atau persiapan menjadi guru, tetapi karena suatu alasan menjalankan peran/fungsi sebagai guru.
Guru yang betul-betul adalah mereka yang mengemban peran/fungsi sebagai guru setelah melalui persiapan memadai untuk peran, tugas dan fungsinya itu.
Dengan identifikasi kedua tipe guru, hendak ditegaskan bahwa pendidikan guru merupakan proses penting bagi menjadinya seseorang, guru.
Meskipun demikian, proses pendidikan hanya menyangkut sisi formal dari upaya persiapan seseorang menjadi guru dan tidak menjamin bahwa melalui pelatihan dan pendidikan, seorang calon guru akan menjadi guru betul-betul.
Artinya, ada aspek selain pendidikan dan pelatihan yang krusial dalam proses menjadinya seseorang, guru. Aspek itu adalah motivasi.
Guru yang kebetulan menjadi guru tidak akan pernah menjadi guru yang betul-betul. Ungkapan bernada sinis ini tentu tidak dimaksudkan sebagai apa adanya. Yang hendak ditunjuk adalah aspek motivasi yang menjiwai laku profesi sebagai guru.
Seseorang yang secara formal menjalani profesi guru—kendatipun awalnya ia menjadi guru secara serba kebetulan belaka, misalnya karena tidak mampu memilih profesi atau bidang pekerjaan lain—diharapkan telah memiliki landasan motivasi (atau “jiwa”) yang kokoh dalam menerima profesinya bukan sekadar sebagai pekerjaan, tetapi sebagai panggilan hidup.
Ia menjalani profesi guru tidak dengan sikap dan cara pandang “apa adanya”, business as usual, tetapi dengan nyala api semangat yang menginspirasi kebaikan bagi murid-murid dan orang lain.
Hadirnya kurikulum baru selalu menuntut peran guru sebagai garda utama perubahan untuk lebih dahulu mengubah mindset dan meningkatkan kompetensinya agar sesuai dengan tuntutan operasional kurikulum baru.
Melanjutnya dua tipe guru menurut Driyarkara, Rhenald Kasali mengategorikan bahwa saat ini ada dua jenis guru yang kita kenal, yaitu “Guru Kurikulum” dan “Guru Inspiratif."
Guru kurikulum sangat patuh pada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking) dan jumlahnya sekitar 99 persen.
Sedangkan guru inspiratif jumlahnya kurang dari satu persen. Ia bukan guru yang mengejar kurikulum, tetapi mengajak murid-muridnya berfikir kreatif (maximum thinking).
Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box) mengubahnya di dalam lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas.
Guru kurikulum melahirkan manajer-manajer handal, guru inspiratif melahirkan pemimpin baru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama.
Kurikulum Merdeka lebih banyak membutuhkan guru inspiratif. Guru yang mengajar secara kaku dan hanya berpatokan pada kurikulum dan tidak kreatif tentu saja dapat menyebabkan situasi belajar menjadi membosankan dan siswa tidak berkembang.