Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

70 Persen Air Minum di Indonesia Tercemar Tinja, Ini Bahayanya Menurut Dosen UM Surabaya

Kompas.com - 28/10/2022, 18:57 WIB
Mahar Prastiwi,
Dian Ihsan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Air merupakan kebutuhan penting bagi hidup manusia. Namun apakah air yang dikonsumsi sehari-sehari masyarakat Indonesia sudah aman dari pencemaran?

Menurut data (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2018 menyebutkan kasus pencemaran air perkotaan di Jakarta mencapai 96 persen dan masuk dalam kategori tercemar berat.

Pencemaran air tentu membuat kualitas air menurun. Kasus pencemaran air ini menjadi salah satu masalah serius karena bisa berdampak bagi kesehatan lingkungan dan manusia.

Dosen Teknologi Laboratorium Medis (TLM) Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) Vella Rohmayani mengatakan, terjadinya pencemaran di Indonesia sebagian besar bersumber dari limbah rumah tangga.

Baca juga: Rektor UGM Mewisuda Putrinya yang Lulus dengan IPK 4.00

Pencemaran air picu berbagai penyakit

Seperti feses manusia maupun hewan peliharaan, limbah air bekas cucian, dan lain sebagainya.

Vella mengungkapkan, berdasarkan data WHO sebanyak 2 miliar orang telah mengonsumsi air minum yang terindikasi sudah terkontaminasi feses atau tinja.

"Air yang sudah terkontaminasi feses manusia memiliki kadar kuman maupun pathogen yang tinggi atau di luar batas kadar normal," urai Vella seperti dikutip dari laman UM Surabaya, Jumat (28/10/2022).

Dosen UM Surabaya ini mengungkapkan, salah satu jenis kuman yang dijadikan sebagai indikator terjadnya pencemaran air adalah bakteri E. coli.

Kasus pencemaran air dapat memicu timbulnya berbagai macam penyakit infeksi yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

Baca juga: Tes STIFIn, Cara Mengenali Potensi Anak dari Otak Paling Dominan

Jenis penyakit akibat pencemaran air

Jenis penyakit akibat pencemaran air adalah diare, disentri, tifus, kolera dan penyakit infektif lainnya.

Menurutnya, lingkungan perairan yang kumuh juga bisa menjadi habitat yang baik bagi berbagai hewan yang berperan sebagai vector penular penyakit.

Seperti nyamuk, lalat, kecoa. Sehingga semakin tinggi kasus pencemaran air sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah vector penular penyakit.

Vella menambahkan, kasus kontaminasi air di Indonesia bukan hanya terjadi pada perairan sungai saja, namun juga terjadi pada air tanah.

Mayoritas penduduk Indonesia memilih menggunakan air tanah sebagai sumber air bersih karena dinilai lebih praktis.

Baca juga: 10 Pekerjaan Impian Gen Z serta Rekomendasi Jurusan dan Kampusnya

Kontaminasi pada air tanah dapat bersumber dari proses perembesan maupun kontaminasi dari septic tank, tempat pembuangan limbah, kotoran hewan ternak, saluran irigasi dan sungai.

Perlu beralih ke jaringan perpipaan

Sehingga perencanaan sarana pembuangan feses dan limbah rumah tangga dapat dijadikan sebagai dasar untuk menentukan titik lokasi pembuatan air sumur.

Dia mengungkapkan, permasalahan pencemaran air, diakibatkan oleh sanitasi yang belum memenuhi standar.

Khususnya sanitasi pembuangan feses dan limbah rumah tangga. Selain itu juga bisa diakibatkan karena masih banyak masyarakat yang buang air besar maupun air kecil di tempat badan air.

Menurutnya, upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kebutuhan air bersih adalah dengan beralih menggunakan air yang bersumber dari jaringan perpipaan.

Baca juga: Cek 5 Tahapan Seleksi Masuk Sekolah Kedinasan IPDN Milik Kemendagri

Bukan lagi menggunakan air tanah yang sangat rentan terkontaminasi oleh feses maupun limbah rumah tangga.

"Selain itu perlu dilakukan upaya penyadaran masyarakat agar tidak lagi membuang limbah rumah tangga ke badan air. Serta tidak mengkonsumsi air mentah secara langsung. Jadi sebelum dikonsumsi sebaiknya air harus dimasak terlebih dahulu," tutup Vella.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com