Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anicetus Windarto
Peneliti

Peneliti di Litbang Realino, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Salah Kaprah Nasionalisme dalam Pendidikan

Kompas.com - 23/09/2022, 05:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BUKAN rahasia lagi bahwa dalam dunia pendidikan, nasionalisme selalu salah kaprah untuk dipahami, apalagi dipraktikkan.

Kesalahannya terletak pada cara pandang yang menempatkan nasionalisme pada tiga konsepsi dasar, yaitu sebagai bahasa suci, pusat kekuasaan, dan mitos sejarah.

Padahal ketiganya adalah bahan bakar yang paling mudah menyulut api chauvinisme atau kebanggaan yang berlebihan pada ras tertentu berkobar-kobar. Benarkah demikian?

Nasionalisme pada dasarnya adalah perikemanusiaan. Tak heran jika, dalam pidato 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI yang sedang membahas tentang dasar-dasar pendirian negara, Bung Karno menempatkannya sebagai sila atau dasar pertama dari dasar negara Republik Indonesia yang dikenal dengan Pancasila.

Sayangnya, sejarah terlalu terpukau dengan istilah Pancasila-nya daripada sila-sila yang membentuknya.

Akibatnya, Pancasila yang dirumuskan ulang oleh para tim dan semakin dikebiri dengan P4-nya era Orde Baru hanya tinggal, seperti diungkap oleh Iwan Fals, mirip "kode buntut".

Ironis, memang. Tapi, yang penting dan mendesak untuk dicatat adalah, pertama, nasionalisme bukanlah "bahasa suci".

Artinya, meski nasionalisme berakar pada budaya dalam "komunitas religius", namun tidak serta merta nasionalime bertujuan mengorbankan sesama warga di seluruh dunia, bahkan nyawanya sendiri pun direlakan. Hal ini menjadi batas, atau yang membedakan, antara nasionalisme dengan agama.

Kedua, nasionalisme juga bukan sebuah "pusat kekuasaan". Di sini nasionalisme sama sekali tidak berurusan dengan "hasrat untuk berkuasa" (will to power).

Namun sebaliknya, justru "berkuasa atas hasrat" (power to will) yang selama ini selalu dilupakan, bahkan diabaikan, hanya demi kepentingan sepihak belaka.

Itulah mengapa nasionalisme tidak bertujuan menjadi "komunitas religius", atau "komunitas politik" sekalipun.

Melainkan, komunitas yang dibentuk dari pembayangan para pembaca surat kabar atau novel (baca: kapitalisme cetak) agar dapat berbahasa bersama demi membebaskan dan memerdekakan diri dari kolonialisme, misalnya.

Dan ketiga, nasionalisme bukan mitos sejarah yang biasanya dibuat untuk melindungi kepentingan para elit politik.

Contohnya, film "Pengkhianatan G30S/PKI", yang di masa Orde Baru selalu dipertontonkan pada malam 30 September di layar kaca televisi nasional, yakni TVRI.

Bahkan tak jarang anak-anak sekolah usia sekolah dasar dimobilisasi untuk menonton film itu di gedung bioskop tertentu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com