Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Salamun, M.Pd.I
Dosen di STIT Pringsewu

Dosen tetap di STIT Pringsewu Lampung, Alumni program Doktor UIN Raden Intan Lampung

Quo Vadis Pendidikan Nasional

Kompas.com - 12/09/2022, 09:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PROFESOR Jimly Asshiddiqie dalam sebuah forum yang penulis hadiri bertanya kepada peserta, apa visi dan misi bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945?

Kami tertegun sesaat lalu beberapa peserta kemudian mengajukan jawaban bahwa hampir semua menjawab pada alinea keempat, mencerdaskan kehidupan bangsa dan seterusnya.

Lalu beliau menjelaskan dengan memberikan keyword bahwa visi itu berupa kata benda dan misi itu berupa kata kerja.

Dengan keyword tersebut kemudian sebagian dari kami baru bisa menemukan jawabannya.

Visi Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara ada di alinea kedua, yaitu merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Itulah arah dan tujuan kemana kapal besar bangsa Indonesia ini hendak dibawa. Siapapun nahkodanya (Presiden, penyelenggara negara dan seluruh pemimpin bangsa pada semua level) tentu harus dan bahkan wajib mengarahkan kapal menuju ke sana.

Lima rumusan tujuan yang sekilas "sederhana", namun tentu saja memiliki makna yang luas dan dalam, bahkan melampaui luasnya nusantara dan dalamnya lautan bangsa Indonesia.

Pertama, Merdeka. Dalam kosakata asing dapat dipahami sebagai free (bebas) atau lebih tepat sebagai freedom (kebebasan). Maknanya bisa merujuk kepada freedom from (bebas dari) dan freedom for (bebas untuk).

Freedom from (bebas dari) segala yang mengikat, menindas, mengintimidasi, menekan atau segala sesuatu yang kemudian membuat kita sebagai sebuah bangsa dan negara tidak memiliki kemandirian dan kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Freedom for (bebas untuk) lebih merupakan sebagai pilihan alternatif untuk melakukan apapun untuk kemajuan bangsa dan negara. Lebih spesifik, misalnya, untuk mengisi kemerdekaan itu sendiri.

Kedua, Bersatu. Indonesia merupakan negara bangsa paling plural di muka bumi dengan 740 suku dan lebih dari 596 bahasa daerah yang tersebar di hampir semua pulau yang berjumlah tidak kurang dari 17.548.

Oleh karenanya, potensi yang luar biasa ini menjadi karunia tersendiri dari Tuhan Yang Maha Kuasa, namun juga sekaligus menjadi potensi konflik manakala tidak dikelola dengan manajemen yang tepat.

Ketiga, Berdaulat. Jika merdeka lebih merujuk kepada bagaimana kita mengekspresikan kebebasan, sementara berdaulat lebih kepada kemampuan kita sebagai sebuah bangsa untuk lebih mandiri.

Mandiri baik produksi maupun pengelolaannya dalam banyak aspek, mandiri pangan, energi sampai yang tidak kalah penting adalah aspek pertahanan keamanan.

Pengelolaan sumber daya alam, minyak bumi dan cadangan energi lainnya menyisakan persoalan tersendiri.

Kenaikan harga BBM yang berdampak pada kenaikan harga kebutuhan pokok tentu akan menambah beban hidup rakyat yang kemudian menjadi sebuah ironi bagi bangsa dengan sumber daya alam yang berlimpah.

Tentu secara ideal hendaknya potensi tersebut digunakan untuk kesejahteraan masyarakat luas bukan justru untuk memperkuat pundi-pundi ekonomi kelompok kekuatan tertentu dengan menguasai dan memperalat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai kuda troya.

Keempat, Adil. Adil merujuk kepada suatu keadaan di mana bangsa dan negara ini dalam mengelola segala sumber daya yang ada baik sumber daya alam maupun manusia secara berkeadilan.

Pada semua aspek dan lini kehidupan dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Sosial, ekonomi, politik dan hukum.

Kelima, Makmur. Makmur dalam perspektif keindonesiaan tentunya harus mengedepankan dua aspek penting yang mencerminkan pribadi manusia Indonesia seutuhnya, yaitu makmur lahir dan batin.

Nah, untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut maka kemudian hendaknya dicapai melalui langkah-langkah kongkret dan operasional sebagaimana tertuang dalam bab empat pembukaan UUD NRI 1945 yang merupakan misi kita sebagai sebuah bangsa, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Fungsi dan tujuan pendidikan nasional

Sampai di sini maka dapat dipahami mengapa kemudian para pendahulu kita merancang undang-undang (pendidikan) terdahulu membuat beberapa rumusan tujuan pendidikan secara eksplisit menyebutkan bahwa pendidikan nasional diarahkan untuk mewujudkan apa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.

Baca juga: Pendidikan Nasional Tanpa Tanggung Jawab

Namun sebagai sebuah naskah yang terpisah meskipun tidak dapat dipisahkan--antara Pembukaan UUD 1945 dengan UU/RUU--maka rumusan tujuan pendidikan nasional idealnya dibangun dan dikonstruksi mengacu kepada tujuan (visi) bangsa Indonesia tersebut.

Jika mengacu kepada teori yang disampaikan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie, maka idealnya rumusan tujuan pendidikan nasional disesuaikan dengan lebih sederhana, namun padat dan lebih bermakna.

Fahrudin Faiz (2013) dalam serial ngaji filsafatnya mengemukakan bahwa harkat dan martabat manusia setidaknya ditentukan oleh empat nilai ialah rasionalitas (kebenaran), moralitas (kesopanan), spiritualitas (religiusitas) dan estetika (rasa). Kualitas pribadi manusia ditentukan dari empat aspek tersebut.

Fungsi sebagaimana yang tertuang dalam naskah akademik dan dijadikan kerangka pikir dalam penyusunan RUU Sisdiknas tersebut, yaitu merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “fungsi” diartikan sebagai kegunaan suatu hal, sedangkan “tujuan” diartikan sebagai arah, haluan dan maksud.

Lebih Lanjut Kemendikbud Ristek menjelaskan dalam naskah akademik RUU bahwa dengan demikian, fungsi pendidikan nasional perlu mengatur sifat-sifat atau profil dari pelajar yang dibentuk dalam sistem pendidikan nasional.

Sedangkan tujuan pendidikan nasional perlu menggambarkan bangsa Indonesia seperti apa yang menjadi arah, haluan dan maksud secara keseluruhan dari sistem pendidikan nasional.

Sampai di sini sebenarnya tidak ada perbedaan pandangan dalam tataran konseptual, namun ketika di-breakdown dalam rancangan naskah RUU penulis masih melihat ada semacam overlapping antara fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional.

Meminjam istilah Prof Jimly Asshiddiqie bahwa visi atau tujuan cirinya adalah kata benda atau kata kerja yang dibendakan. Fungsi menjawab persoalan substantif (hakikat materi suatu benda), sedangkan tujuan menjawab persoalan esensial (hal yang lebih mendasar).

Untuk memudahkan pemahaman, penulis ingin memberikan gambaran sederhana. Global positioning system (GPS) itu fungsinya sebagai alat navigasi, sedangkan koordinat yang akan dituju adalah tujuannya.

Untuk memastikan agar perjalanan dapat sampai kepada tujuan, maka titik tujuan (koordinat) harus ditentukan dengan jelas. Demikian juga ketika kita berbicara tentang tujuan Pendidikan Nasional.

Penulis mengusulkan "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan pelajar agar dapat bertumbuh menjadi warga negara yang memiliki kualitas pelajar Pancasila yang Arif dan bijaksana". Sudah gitu aja titik.

Mengapa arif dan bijaksana? Arif merujuk kepada kemampuan kognitif dan berbagai skill yang harus dimiliki, sedangkan bijaksana (wisdom) adalah amanah sila keempat Pancasila bahwa setiap warga negara Indonesia akan menjadi warga negara yang baik ketika memilki kebijaksanaan (wisdom).

Sedangkan tujuannya adalah berkembangnya potensi pelajar Pancasila yang religius, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu dan bernalar kritis, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, bergotong royong dan bertanggung jawab.

Mengapa dalam rumusan tujuan ini tidak perlu dicantumkan berkebhinekaan?

Pertama, Bhinneka Tunggal Ika sudah menjadi dasar dari pendidikan nasional yang harus menjadi nafpas dari setiap apa yang menjadi rumusan-rumusan penting dalam RUU ini.

Kedua, makna substantif dari berkebhinekaan adalah berbeda-beda dan tidak boleh dipenggal hanya berkebhinekaan. Ketika kita menyebut berkebhinekaan harus dalam konteks berkebhinekaan yang tunggal Ika.

Dengan demikian, jika disebutkan hanya berkebhinekaan, maka yang tertanam dalam pikiran bawah sadar kemudian bhinekanya saja, berbeda-beda.

Cukuplah kesadaran akan pluralitas tersebut terwakili dalam rumusan kualifikasi pelajar yang demokratis. Karena dengan kesadaran demokratis tentu sudah memiliki kesadaran pluralitas.

Bagaimana jika kemudian yang tertanam justru karena berbeda-beda, maka tidak perlu dan tidak mungkin "dipersatukan"? Atau justru sah-sah saja jika saling mengintimidasi dan semacamnya sebagaimana fenomena yang sering terjadi akhir-akhir ini?

Perbedaan sedikit sudah memicu pertentangan-pertentangan, baik yang berlatar belakang sosial politik dan terutama agama.

Sebagaimana diketahui bahwa rumusan tujuan pendidikan nasional dalam RUU Sisdiknas, yaitu: pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, membentuk masyarakat yang religius, menjunjung kebhinekaan, demokratis dan bermartabat,
memajukan peradaban, serta menyejahterakan umat manusia lahir dan batin.

Sedangkan rumusan fungsi pendidikan nasional adalah: Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan potensi Pelajar dengan karakter Pancasila agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, mandiri, berilmu dan bernalar kritis, berkebhinekaan, bergotong royong, dan kreatif.

Suatu rumusan yang menurut hemat penulis masih overlap, baik secara konseptual maupun narasinya antara fungsi (kegunaan) dan tujuan (orientasi pencapaian).

Selanjutnya, tentu guna penyempurnaan RUU perlu melibatkan setidaknya beberapa ahli dengan berbagai latar belakang.

Filsuf dengan aliran rasionalisme diimbangi dengan yang beraliran realisme agar tidak saja terjadi harmonisasi, namun lebih dapat mencapai perpaduan tercapainya kualitas kepribadian yang mendekati pada kesempurnaan lahir dan batin.

Kehadiran psikolog dan terutama yang ahli dalam neuro linguistic programming (NLP) untuk memastikan kata-kata, diksi atau frasa yang digunakan dalam RUU ini kemudian sejalan dengan brain base learning.

Mengapa NLP menjadi penting? Karena merupakan bagian dari skill proses pembelajaran yang sangat kompatibel dengan cara kerja otak dengan menggunakan rancangan dan rangsangan-rangsangan bagi otak (Bobbi DePorter dkk, 1999).

Bisa dibayangkan bagaimana jika narasi yang diulang-ulang kemudian justru bersifat negatif seperti diksi non-diskriminatif, padahal sudah ada prinsip berkeadilan.

Perlakuan adil dan berkeadilan akan lebih baik secara konseptual dibanding diksi non-diskriminatif (tidak diskriminatif) yang diulang berkali-kali.

Dalam konteks pemrograman pikiran bawah sadar lebih baik menyebutkan jangan bertindak tidak adil daripada mengatakan jadilah orang yang nondiskriminatif.

Pasalnya, pada kalimat pertama, otak kita masih menangkap pesan “adil”, sedangkan yang kedua lebih menangkap “diskriminatif”. Wallahu A’lam bish-shawab.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com