Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohammad Imam Farisi
Dosen

Dosen FKIP Universitas Terbuka

Menyelisik Konstruksi Pendidikan Jarak Jauh dalam Naskah Akademik RUU Sisdiknas

Kompas.com - 05/09/2022, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ADALAH fakta bahwa ketentuan yang memuat norma-norma pokok tentang pendidikan jarak jauh (PJJ) tidak ditemukan (raib) di dalam batang tubuh RUU Sisdiknas, baik versi Januari 2022 maupun versi Agustus 2022 (Farisi, 2022a, 2022b, 2022c).

Dalam teori perundang-undangan, batang tubuh peraturan perundang-undangan memuat semua substansi (materi) peraturan atau ketentuan-ketentuan pokok yang dirumuskan dalam bentuk pasal-pasal.

Pasal-pasal ini menjadi sumber hukum bagi pengaturan lebih lanjut pada perundang-undangan di bawahnya, serta memberikan “kedudukan hukum” (legal standing) terkait dengan substansi hukum yang diatur di dalam pasal-pasal.

Jika substansi hukum tidak terdapat dan tidak diatur di dalam batang tubuh (pasal-pasal) peraturan perundang-undangan, maka substansi tersebut tidak memiliki ketentuan pokok, tidak memiliki kedudukan hukum, serta tidak dapat menjadi sumber atau referensi hukum bagi perundang-undangan di bawahnya.

Hal ini juga berlaku pada PJJ. Bahwa jika RUU-Sisdiknas yang hingga disahkan menjadi UU-Sisdiknas tetap tidak memiliki ketentuan-ketentuan pokok yang mengatur tentang PJJ, maka:

Pertama, terjadi “kekosongan norma/hukum” (rechtsvacuum) yang tidak dapat memberikan kepastian hukum tentang PJJ.

Kedua, sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, PJJ tidak bisa diatur lebih lanjut di dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya (PP, Permen, Perpres, dll.), karena tidak ada cantolan hukum di dalam UU.

Ketiga, PJJ secara yuridis-formal tidak memiliki “kedudukan hukum” (legal standing) yang bisa diakui secara sah dan legal sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional Indonesia.

Situasi ini tentu sangat menggelisahkan bagi para pakar, komunitas, organisasi dan/atau institusi penyelenggara dan pengembang PJJ di Indonesia.

Bahkan, dipastikan akan sangat merugikan bagi eksistensi dan pengembangan PJJ di Indonesia.

Betapa tidak, eksistensi dan pengembangan PJJ di Indonesia yang selama ini telah memiliki legal standing di dalam UU 20/2003, UU 12/2012, dan peraturan pelaksanaan lainnya, lenyap dan hilang tanpa bekas di dalam kedua versi RUU-Sisdiknas.

Dalam pemahaman Penulis, PJJ bukan hanya sebuah “nomenklatur” dan "delivery system" dalam pembelajaran yang “vis-à-vis” dengan PTM (Pendidikan Tatap Muka).

Jika PJJ hanya nomenklatur yang vis-à-vis dengan PTM, bisa dipahami jika PJJ tidak disebutkan di dalam batang tubuh RUU-Sisdiknas, untuk memberikan fleksibilitas bagi pemerintah untuk mengubahnya di masa depan.

PJJ adalah sebuah sistem pendidikan yang memiliki filosofi, konsep dan teori, pedagogi, model, manajemen, sumberdaya, akreditasi, penjaminan mutu, infrastruktur, dll, tersendiri yang tidak semuanya bisa dibandingkan secara vis-a-vis dengan PTM.

Selain itu, jika PJJ hanya sebuah nomenklatur, delivery sistem yang vis-a-vis dengan PTM, mengapa PJJ memiliki PP dan/atau Permen, sedangkan PTM tidak?

Jika ditelusur, ada sejumlah peraturan lebih lanjut terkait penyelenggaraan PJJ. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, PJJ diatur dalam PP 66/2010; Permendikbud 119/2014.

Pada jenjang Pendidikan tinggi, PJJ juga diatur di antaranya melalui Permendikbud 109/2013, Permendikbud 87/2014, Permenristekdikti 51/2018.

PJJ diselenggarakan sebagai strategi pendidikan dalam rangka menjawab tantangan Revolusi Industri 4.0.

Fakta ini menunjukkan bahwa PJJ memiliki kekhasan, karakteristik sendiri yang tidak bisa diatur dengan peraturan atau ketentuan tentang pembelajaran/pendidikan secara umum.

Sama halnya dengan jenjang pendidikan seperti pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, dll, nomenklatur pendidikan lainnya, yang dinyatakan dan diatur secara jelas di dalam peraturan perundang-undangan.

Keberadaan PJJ dalam "Penjelasan" RUU-Sisdiknas (walaupun secara substantif sebenarnya sangat jauh dari konsep dan praktik PJJ yang benar dan diakui), tidak bisa memberikan kedudukan hukum dan dijadikan cantolan hukum.

Secara teoretik, penjelasan atas pasal-pasal yang terdapat di dalam batang tubuh UU hanya berfungsi sebagai “tafsir resmi” pembentuk UU atas norma tertentu dalam batang tubuh, serta untuk “memperjelas norma-norma” dalam batang tubuh (Hermanto, Aryani, Astariyani, 2020).

Ikhtiar mereka yang tak kenal lelah dalam membangun dan mengembangkan PJJ di Indonesia sejak lama menjadi sia-sia, hanya karena “kekhilafan/keteledoran (?)” dari Tim Penyusun Naskah RUU-Sisdiknas yang boleh jadi tidak memahami secara utuh tentang PJJ, dan/atau mungkin “tidak suka” terhadap PJJ.

Diakui atau tidak, disadari atau tidak, saat ini PJJ menunjukkan perkembangan yang sangat pesat di Indonesia, dengan kontribusi yang juga sangat signifikan dalam perluasan dan pemerataan akses publik terhadap pendidikan, melalui pertumbuhan jumlah peserta didik yang sangat tinggi, khususnya pada jenjang pendidikan tinggi.

Dalam tulisan-tulisan sebelumnya, Penulis juga “gagal paham” mengapa PJJ bisa hilang (raib) di dalam RUU-Sisdiknas (versi Januari & Agustus 2022), dan apa alasannya (akademis, filosofis, sosiologis, dan/atau atau yuridis-formal).

Hingga saat ini, ikhtiar untuk menemukan jawaban atas hal itu baik dari pihak kemendikbudristek, maupun pihak-pihak lain yang terlibat dalam kelompok diskusi terpumpun yang membahas naskah RUU Sisdiknas juga belum berhasil.

PJJ dalam naskah akademik

Dalam situasi seperti ini, Penulis berharap, jawaban bisa ditemukan di dalam Naskah Akademik RUU Sisdiknas versi Agustus 2022 yang merupakan prasyarat untuk menyusun rancangan peraturan perundang-undangan.

Analisis atas Naskah Akademik diharapkan dapat menemukan argumentasi akademik (yuridis, sosiologis dan filosofis) yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan sebuah RUU (UU 12/2011; Perpres 68/2005).

Di dalam Naskah Akademik, Penulis tidak menemukan argumentasi akademik mengapa ketentuan atau norma pokok tentang PJJ dihapus/dihilangkan dari RUU-Sisdiknas.

Dari telusuran atas Naskah Akademik, frasa pendidikan/pembelajaran jarak jauh (PJJ) ditemukan dan digunakan dalam kaitannya dengan: (1) prinsip pembelajaran sepanjang hayat; (2) penyesuaian kategori jalur pendidikan; (3) ketentuan pidana; dan (4) sekolah diplomatik dan lembaga pendidikan asing.

Ada dua hal yang bisa disimpulkan dari keempat hal terkait dengan konstruksi status dan kedudukan PJJ dalam Naskah Akademik.

Pertama, PJJ sebagai jenis program pendidikan. Mengacu pada klasifikasi International Standards Classification of Education (ISCED), PJJ merupakan salah satu jenis program pendidikan yang diselenggarakan secara berkelanjutan pada setiap tahapan kehidupan seseorang pada semua jalur pendidikan (formal, nonformal, dan/atau informal).

Kedudukan PJJ sama dengan pendidikan awal (initial education), pendidikan umum/reguler, pendidikan literasi, pendidikan orang dewasa, pemagangan, pendidikan berkelanjutan, pendidikan vokasi atau teknik, diklat sertifikasi profesi, dan pendidikan khusus (ISCED, 2011).

Kedua, PJJ sebagai modus pendidikan. PJJ sebagai modus pendidikan diselenggarakan untuk mendukung “prinsip pembelajaran sepanjang hayat”.

PJJ dilaksanakan dan mencakup semua “jalur” pendidikan (formal, nonformal, dan informal), “bentuk” satuan pendidikan (pendidikan anak usia dini, sekolah, madrasah, pesantren, perguruan tinggi, ma’had aly), dan “jenis” pendidikan (umum, akademik, keagamaan, vokasi, profesi, kedinasan, dan khusus).

Penyelenggaraan PJJ sebagai modus pendidikan juga dimaksudkan untuk menyediakan bagi WN yang sudah bekerja fleksibilitas dan kesempatan belajar, mengakses pendidikan yang bermutu, dan waktu penyelesaian pendidikan lintas satuan dan jalur pendidikan (multi entry-multi exit system).

Keberadaan PJJ juga memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis untuk meningkatkan efisiensi dalam penyelenggaraan Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN).

Melalui PJJ, pemerintah dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk mengirimkan pendidik dari Indonesia ke luar negeri.

Bahkan, seiring dengan perkembangan teknologi dan meningkatnya pilihan dan kualitas layanan PJJ, relevansi dari sekolah diplomatik akan semakin berkurang.

Berdasarkan kedua status dan kedudukan PJJ tersebut, status dan kedudukan PJJ dalam Naskah Akademik sangat jelas, yaitu sebagai “program pendidikan” maupun ”modus pendidikan” merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional Indonesia.

Status dan kedudukan PJJ ini sama seperti yang diatur di dalam UU 20/2003. PJJ juga dimaknai bukan sebatas sebuah nomenklatur, delivery sistem yang vis-a-vis dengan PTM.

Namun, kedua status dan kedudukan PJJ dalam Naskah Akademik tersebut menjadi tidak jumbuh, ketika kemudian sama sekali tidak diatur lebih lanjut menjadi norma-norma pokok di dalam satupun pasal di dalam RUU Sisdiknas versi Agustus 2022.

Jika masih ada ruang terbuka untuk revisi RUU-Sisdiknas, terdapat sejumlah pasal yang dapat direvisi/ditambahkan norma tentang PJJ.

Pasal 1: memasukkan ketentuan umum tentang PJJ; Pasal 17 menambahkan satu ayat tentang penyelenggaraan pendidikan (formal, nonformal dan informal) melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh; menambahkan Bagian Kelima (pasal 55): memuat ketentuan tentang PJJ seperti pada UU 20/2003 (Bagian Sepuluh Pasal 31 ayat (1 sd. 4); dan memasukkan kembali ketentuan sanksi pelanggaran (administrasi) bagi penyelenggara PJJ yang tidak memenuhi persyaratan.

Seperti telah dikemukakan di awal, jika katentuan atau norma-norma pokok tentang PJJ tidak terdapat di dalam batang tubuh (pasal-pasal) UU-Sisdiknas, maka bisa dipastikan bahwa PJJ: tidak memiliki kepastian hukum; tidak bisa diatur lebih lanjut di dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya; dan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional Indonesia.

Selamat Dies Natalis ke-38 kepada Universitas Terbuka. Semoga dalam usia ke-38 tahun ini, RUU-Sisdiknas semakin mengokohkan status, kedudukan, dan peran Universitas Terbuka sebagai pelopor pendidikan terbuka dan jarak jauh di Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com