Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Salamun, M.Pd.I
Dosen di STIT Pringsewu

Dosen tetap di STIT Pringsewu Lampung, Alumni program Doktor UIN Raden Intan Lampung

Pendidikan Nasional Tanpa Tanggung Jawab

Kompas.com - 01/09/2022, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

RANCANGAN Undang-Undang (RUU) tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) secara resmi telah disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) pada Rabu, 24 Agustus 2022 yang lalu.

Pemerintah menyebut RUU Sisdiknas ini sebagai RUU Sisdiknas Edisi Agustus 2022. Naskah Akademiknya ditandatangani Anindito Aditomo, S.Psi., M.Phil., Ph.D, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan bertindak untuk atas nama Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, tertanggal 15 Juli.

Penulis kemudian menyebut RUU ini sebagai “RUU Sisdiknas tanpa tanggung jawab”.

Berdasarkan RUU ini, penulis dapat memahami mengapa kemudian Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2020 merilis dokumen penting yang menyangkut arah Pendidikan Nasional, yaitu menerbitkan profil Pelajar Pancasila.

Profil pelajar Pancasila tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 Tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Tahun 2020-2024.

Disebutkan profil pelajar Pancasila sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dengan enam ciri utama: (1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, (2) berkebinekaan global, (3) bergotong royong, (4) mandiri, (5) bernalar kritis, dan (6) kreatif.

Ternyata apa yang dilakukan oleh Kemendikbud Ristek dalam menyusun profil Pelajar Pancasila mengacu pada rumusan tujuan Pendidikan Nasional yang tertuang dalam draft RUU Sisdiknas, yaitu:

“Pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, membentuk Masyarakat yang religius, menjunjung kebinekaan, demokratis dan bermartabat, memajukan peradaban, serta menyejahterakan umat manusia lahir dan batin”.

Mencermati apa yang dilakukan oleh Kemendikbud Ristek, setidaknya ada tiga hal penting yang patut diperhatikan dari aspek formil, aspek materiil dan aspek filosofis substantif.

Pertama, secara formil Pemerintah dalam konteks lahirnya Permen a quo yang memuat Profil Pelajar Pancasila tidak mengindahkan dan berpedoman pada Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019.

Analogi sederhananya, Kemendikbud Ristek telah melahirkan seorang anak (Permen) tanpa orangtua (PP) dan kakek (UU).

Sebagai sebuah upaya kreatif tentu patut diberikan apresiasi. Namun ketika menyandarkan produk kebijakan yang undang-undangnya belum lahir tentu hal demikian patut untuk dikritisi.

Ternyata rumusan tujuan Pendidikan Nasional dalam RUU Sisdiknas inilah yang menjadi “acuan” Kemendikbud Ristek dalam membuat rumusan Profil Pelajar Pancasila, namun tanpa memuat diksi demokratis dan bertanggung jawab.

Sebuah upaya fait a comply dalam bernegara, yang menurut saya jangan terlalu mudah --untuk tidak mengatakan tidak boleh-- dilakukan.

Imajinasi dan kreatifitas setiap anak bangsa yang mendapatkan amanah untuk menyusun dokumen tersebut tetap mendapatkan ruang kebebasan untuk menuangkannya.

Namun dalam konteks bernegara tentu harus melalui berbagai tahapan diskusi, perbincangan, refleksi bahkan mungkin perdebatan sampai pada akhirnya mendapatkan kesepakatan bersama antara legislatif (DPR-RI) sebagai cerminan suara rakyat dan Presiden.

Barulah kemudian produk hukum tersebut dapat dijadikan landasan yuridis dan operasional.

Kedua, secara materiil tentu setiap kata yang tertuang dalam regulasi memiliki implikasi hukum dan sangat menentukan eksistensi Pendidikan Nasional. Pada akhirnya akan melahirkan generasi penerus bangsa.

Jika dilakukan benchmark dengan rumusan-rumusan tujuan pendidikan nasional, maka dapat dikatakan rumusan tujuan dalam RUU Sisdiknas ini tidak menyebut secara eksplisit kualifikasi pelajar/insan/masyarakat yang bertanggung jawab.

Dalam UU Nomor 4 Tahun 1950, Jo Undang Undang Nomor 12 Tahun 1954 tujuan Pendidikan Nasional adalah “Membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”.

Keppres RI No. 145 Tahun 1965: Melahirkan warga negara sosialis Indonesia yang susila, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun material dan yang berjiwa Pancasila.

TAP No. IV /MPR/1973, GBHN: Membentuk manusia-manusia pembangunan yang ber-Pancasila dan untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggungjawab, dapat menyuburkan sikap demokratis, dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaksud dalam UUD 1945.

UU RI No. 20 Tahun 2003, Sisdiknas: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Mengubah sesuatu seharusnya menjadi lebih baik dan mendekati pada kesempurnaan atau idealitas.

Namun, jika yang dilakukan adalah mengubah sesuatu yang sudah baik lalu menghilangkan nilai-nilai kebaikan yang terkandung di dalamnya, tentu hal demikian bukan suatu kearifan.

Ketiga, secara filosofis substantif ada beberapa hal penting yang hilang dari RUU ini, yakni kualifikasi pelajar sehat dan bertanggungjawab. Dan pada rumusan profil Pelajar Pancasila tidak ada frasa atau kualifikasi demokratis.

Hilangnya frasa sehat tentu berpotensi menimbulkan kegaduhan baru di lapangan. Misalnya, bagaimana guru-guru penjaskes pascatidak adanya frasa sehat dalam tujuan Pendidikan Nasional?

Menurut saya, sehat fisik dan sehat mental akan sangat berpengaruh pada sehatnya akal dan pikiran, mensana in corpore sano.

Pentingnya tanggung jawab

Kualifikasi sehat, demokratis dan bertanggung jawab sangat penting disematkan dalam rumusan profil Pelajar Pancasila dan terutama dalam rumusan tujuan Pendidikan Nasional.

Mengapa demokratis menjadi penting meskipun sudah ada kualifikasi berkebinekaan global?

Kualifikasi berkebinekaan global membangun kesadaran bahwa pluralitas atau kemajemukan adalah sebuah keniscayaan.

Implikasinya adalah kesadaran tidak boleh ada superioritas dan inferioritas, baik secara personal individual maupun sosial komunal.

Ya, tidak boleh ada tirani mayoritas terhadap minoritas karena pada hakikatnya kemajemukan itu adalah sunnatullah, sudah merupakan ketentuan dan sekaligus karunia dari Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa.

Karena menyadari kemajemukan (berkebinekaan global) adalah sebuah keniscayaan, maka seluruh umat manusia hendaknya bersikap demokratis.

Sikap menghargai kebebasan hak-hak orang lain tanpa memaksakan produk pemikirannya kepada orang lain sebagai sesuatu yang paling benar.

Sedangkan tanggung jawab menjadi kualifikasi kemanusiaan yang sangat penting setidaknya dapat dilihat dari dua aspek.

Pertama, tanggung jawab kepada pribadi masing-masing. Tanggung jawab ini merupakan sesuatu yang mendasar. Seseorang hendaknya belajar bertanggung jawab terhadap dirinya dalam banyak hal.

Tanggung jawab akan masa depannya. Tidak ada orang yang lebih bertanggung jawab terhadap masa depan kehidupannya kecuali dirinya sendiri dengan penuh kesadaran (mindfulness).

Bahwa kemudian ada orangtua, guru, dosen, ustadz, kiai bahkan negara juga memiliki tanggung jawab atas masa depan seluruh anak bangsa karena merupakan amanah konstitusi sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tanggung jawab pribadi atau personal juga diwujudkan dengan belajar mempertanggungjawabkan pilihan, keputusan dan segala tindakannya di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara baik dalam konteks kehidupan nyata sehari-hari maupun dalam kehidupan dunia maya (media sosial dan semacamnya).

Kedua, tanggung jawab yang lebih besar lagi ialah tanggung jawab secara sosial dan tanggung jawab terhadap negaranya.

Tanggung jawab sosial dan tanggung jawab atas negaranya tidak saja memiliki kewajiban membela kedaulatan bangsanya di mata internasional, namun juga harus berani mengambil tanggung jawab akan masa depan bangsanya.

Seorang pelajar dengan profil pelajar Pancasila hendaknya membekali diri dengan berbagai skill dan keterampilan yang tidak saja bermanfaat untuk dirinya, tapi juga bermanfaat untuk bangsa dan negaranya kedepan.

Seorang pelajar dengan kualifikasi pelajar Pancasila tidak boleh bersikap masa bodoh atas apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan bangsanya.

Berbagai ketidakadilan dan ketimpangan sosial lainnya hendaknya menjadi perhatian pelajar dan warga negara Pancasila.

Sebagai generasi penerus bangsa, hendaknya para pelajar terus membekali diri seoptimal mungkin menuju best edition of him self (edisi terbaik masing-masing individu).

Tidak kalah penting masing-masing warga negara mengambil tanggung jawab sesuai kapasitas dan kapabilitasnya terhadap masa depan bangsa dan negara.

Dan apa yang penulis lakukan adalah tidak lebih dari sekadar ikut bertanggungjawab atas masa depan bangsa dan negara dari sisi dunia pendidikan.

Last but not least, semoga Kemendikbud Ristek tidak dengan sengaja tidak memasukkan kualifikasi demokratis dan bertanggung jawab dalam rumusan profil Pelajar Pancasila. Semoga ini hanya kekhilafan semata dan alangkah baiknya kemudian segera disempurnakan.

Kepada para wakil rakyat di DPR-RI hendaknya memberikan waktu cukup dan memperluas akses rapat dengar pendapat dengan mengundang elemen masyarakat yang lebih luas.

Cukuplah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang pada akhirnya dibatalkan bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi sebagai pelajaran penting bagi bangsa kita dalam bernegara yang jangan sampai terulang kembali. Wallahu A’lam bish-shawab.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com