Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Legalisasi Ganja Medis, Guru Besar UGM: Nanti Merusak Mental

Kompas.com - 07/07/2022, 09:56 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Polemik legalisasi ganja untuk medis menguat dalam beberapa waktu terakhir.

Menyikapi kondisi tersebut, Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Zullies Ikawati angkat suara.

Dia mengaku, tidak setuju terhadap upaya legalisasi ganja meskipun alasannya untuk medis.

Baca juga: UGM Berikan Akses untuk 74 Persen Mahasiswa Kelas Menengah ke Bawah

Sebab, ganja yang digunakan dalam bentuk belum murni, seperti simplisia atau bagian utuh dari ganja masih mengandung senyawa utama tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif.

Artinya, bisa memengaruhi kondisi psikis pengguna dan menyebabkan ketergantungan serta berdampak pada mental.

"Ganja sebagai tanaman dan bagian-bagiannya mestinya tetap tidak bisa dilegalisasi untuk ditanam dan diperjualbelikan, karena masuk dalam narkotika golongan 1," ucap dia melansir laman UGM, Kamis (7/7/2022).

Dia menyampaikan, bahwa yang dapat dilegalkan atau diatur adalah senyawa turunan ganja, seperti cannabidiol yang tidak memiliki aktivitas psikoaktif.

Senyawa ini dapat digunakan sebagai obat dan bisa masuk dalam narkotika golongan 2 atau 3.

Dia mencontohkan, pada penggunaan ganja medis dari obat-obatan golongan morfin. Morfin berasal dari tanaman opium yang menjadi obat legal selama melalui resep dokter.

Biasanya digunakan dalam pengobatan nyeri kanker yang sudah tidak merespons lagi terhadap obat analgesic lainnya.

Namun begitu, opium tetap masuk dalam narkotika golongan 1, karena berpotensi penyalahgunaan yang besar. Demikian halnya dengan tanaman ganja.

Baca juga: Psikolog UM Surabaya: Ini 4 Dampak Saat Bangun Tidur Langsung Buka HP

Sementara itu senyawa ganja lainnya yakni cannabidiol (CBD) yang memiliki efek anti kejang, tetapi tidak bersifat psikoaktif.

Meski demikian, Zullies menekankan ganja medis bukanlah menjadi obat satu-satunya yang bisa mengatasi kejang pada tubuh seseorang.

Oleh sebab itu, ganja medis disarankan sebagai obat alternatif atau bukan obat utama apabila obat lain sudah tidak berefek bagi pasien.

"Jadi saya pribadi "Say No" untuk legalisasi ganja walau dengan alasan memiliki tujuan medis. Komponen ganja yang bersifat obat, seperti cannabidiol bisa digunakan sebagai obat, tapi jadi alternatif terakhir," tegas dia.

Proses legalisasi menjadi obat, lanjutnya, harus dilakukan mengikuti kaidah pegembangan obat.

Legalisasi harus didukung dengan adanya data-data uji klinis terkait, dalam bentuk obat yang terukur dosisnya, serta didaftarkan ke BPOM.

"Untuk ganja tidak bisa menggunakan regulasi seperti obat herbal lainnya yang tidak mengandung senyawa psikoaktif," tutur dia.

Lanjut Guru Besar Fakultas Farmasi UGM ini mengatakan, ke depan perlu koordinasi semua pihak terkait untuk membuat regulasi dalam pengembangan dan pemanfaatan obat yang berasal dari ganja, seperti cannabidiol dengan mempertimbangkan risiko dan manfaatnya.

Baca juga: Dokter Unair Bagikan Tips Atasi Gigi Sensitif

Riset-riset ganja perlu diatur dengan tetap terbuka kepada kemajuan ilmu pengetahuan dan dengan tetap membatasi akses guna menghindari penyalahgunaan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com