Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Urgensi "Father Effect" dalam Penggunaan Teknologi Digital pada Anak

Kompas.com - 03/06/2022, 08:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Bonar Hutapea

ADA hal yang sangat menarik dalam seminar internal bertema “teknologi digital dan keluarga” yang diselenggarakan HKBP Kemang Pratama, Bekasi, dan didukung Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Tarumanagara sebagai bagian dari pengabdian kepada masyarakat pada 30 April 2022 lalu.

Para pria, bapak-bapak yang terhitung jauh lebih banyak jumlahnya, tampak sangat antusias selama acara berlangsung.

Bahkan, karenanya, acara yang sedianya berakhir pukul 12.00 WIB menjadi pukul 14.30 WIB.

Pertanyaan-pertanyaan kritis dan tajam disertai curhatan serta berbagi pengalaman mewarnai sebagian besar waktu tersebut.

Pengasuhan digital dan mediasi digital: Pekerjaan baru ibu?

Dalam kehidupan sehari-hari, sudah sangat biasa terdengar para orangtua mengeluhkan penggunaan yang berlebihan dan mencemaskan dampak negatif teknologi digital terutama gawai (gadget) dan internet pada anak-anak dan remaja (Salazar & Moran, 2019) terutama media sosial (Adit, 2021; Kompas.com, 28 Mei 2021), adiksi internet (Prastiwi, 2021; Kompas.com, 29 Desember 2021) yang sama buruknya dengan kecanduan Napza (Napitupulu, 2021; Kompas, 02 Oktober 2021) termasuk dalam masa pandemi Covid-19 (Arlinta, 2020; Kompas, 05 Agustus 2020) yang harus dicegah sebelum semakin mengkhawatirkan (Purnamasari, 2020; Kompas.com, 19 Juni 2020).

Namun orangtua dimaksud lazimnya adalah para ibu. Mengapa ibu? Umumnya dalam kehidupan sehari-hari, sejak dulu, ayah memang kurang terlibat dalam pengasuhan anak.

Sebaliknya, ibu yang mengambil lebih banyak tanggung jawab mengasuh anak dan menghabiskan waktunya dengan anak-anak.

Berbagai penelitian, sejauh ini, juga menemukan hal yang relevan dengan itu, antara lain: terdapat perbedaan dalam gaya pengasuhan dan komunikasi antara ayah dan ibu, karenanya menjadi berbeda pula pengasuhan terkait penggunaan teknologi digital.

Dalam gaya pengasuhan terkait internet, dibandingkan ayah, ibu lebih banyak menunjukkan kehangatan dalam hal dukungan dan lebih terbuka.

Para ibu lebih terlibat, sedangkan ayah cenderung tidak mengawasi penggunaan media anaknya.

Penilaian tentang pengalaman daring (online) anak juga berbeda. Ibu cenderung membuat penilaian yang lebih baik selain tingkat pengetahuan tentang frekuensi penggunaan internet yang lebih tinggi dibandingkan dengan ayah.

Hal ini dapat dipahami dari kenyataan bahwa ibu tampak lebih terlibat dalam perilaku terkait media dan internet anak-anaknya.

Peneliti umumnya mendapatkan informasi tentang pengetahuan orangtua perihal penggunaan teknologi digital dan internet anak sebagian besar berasal dari laporan ibu yang pengetahuannya memang cenderung lebih tinggi dari pada ayah.

Demikian pula dalam komunikasi keluarga, ayah lebih mengandalkan ibu untuk memperoleh informasi tentang pengalaman sehari-hari anaknya yang remaja dan bukan sebaliknya.

Dari pengakuan anak diketahui bahwa masalah komunikasi orangtua-anak lebih sering terjadi pada ayah.

Anak menyatakan sulit atau sangat sulit bagi mereka untuk mendiskusikan masalah yang benar-benar mengganggu mereka dengan ayahnya.

Remaja juga lebih puas dalam komunikasi mereka dengan ibu daripada ayah.

Terdapat kesan, khususnya dalam pengasuhan anak, bahwa kerja digital itu mudah dilakukan, selain dikaitkan dengan waktu luang, bahkan disamakan dengan hobi atau minat pribadi lalu menganggap para ibu menikmatinya.

Kenyataannya, kerja semacam itu sangat menuntut perhatian dan kerja mental yang terus menerus, hingga mengganggu pekerjaan terutama jika ibu bekerja di luar rumah.

Selain itu, mengganggu kehidupan sehari-hari dan menempatkan ibu di bawah tekanan kuat untuk memberi perhatian lebih besar.

Padahal kontribusi dan/atau pengorbanan ibu untuk pekerjaan rumah tangga yang tergolong baru ini seringkali kurang dihargai karena tak terlihat, tak berwujud material.

Meski dalam beberapa kasus ditemukan ayah memiliki bagian yang sama, bahkan lebih banyak dalam pengasuhan digital, namun dalam pembagian kerja berdasarkan gender dalam rumah tangga, pengasuhan digital masih tetap dianggap menjadi tanggung jawab ibu, sebagaimana umumnya pengasuhan anak.

Dengan berbagai fakta di atas, harapan agar para ayah berpartisipasi lebih luas dan terlibat aktif dalam pengasuhan digital menjadi sulit terwujud.

Urgensi keterlibatan ayah

Dalam situasi tersebut, di Barat, penelitian mulai berfokus pada pentingnya peran ayah. Ayah yang semakin terlibat dalam membesarkan anak-anak dan pentingnya pengasuhan ayah untuk dampak yang lebih positif bagi anak-anak.

Peran ayah dalam keluarga mulai berkembang jauh dari konsepsi ayah sebagai pencari nafkah kepada pengakuan bahwa kedua orangtua bersama-sama dan setara.

Pengasuhan tak lagi hanya menjadi peran ibu sebagaimana dalam peran tradisional. Demikian pula dalam teori kontemporer dinyatakan bahwa memberikan kehangatan dan perhatian kepada anak-anak juga menjadi peran seorang ayah.

Meskipun sebagian besar ayah tidak berperan aktif dalam proses mengasuh anak seperti halnya ibu, setidaknya kesenjangan antara partisipasi laki-laki dan perempuan dalam pengasuhan anak sudah semakin menyempit.

Perubahan sosial yang positif, yang didorong oleh para peneliti, berupa penguatan kepedulian dan keterlibatan ayah dalam penggunaan teknologi digital anak harus semakin didukung karena berdampak langsung pada masa depan anak-anaknya terutama perkembangan psikososial, keberhasilan pendidikan hingga pekerjaan dan memperkecil kemungkinan terlibat dalam perilaku berisiko.

Selain itu, juga mendekonstruksi stereotip peran gender dan menantang patriarki di era digital sekaligus menghilangkan bias gender di ranah domestik.

Keterlibatan ayah memperkuat keluarga sebab dengan penguatan pengasuhan positif oleh ayah akan memperkuat disiplin, komunikasi yang lebih efektif, dukungan emosional, dan manajemen stres yang berfungsi sebagai faktor pelindung bagi anak agar mampu menghadapi risiko yang ada terkait daring dan teknologi digital.

Komunikasi orangtua-anak akan lebih baik karena ayah terlibat dalam gaya pengasuhan demokratis dan hangat.

Keterbukaan pribadi anak dan remaja yang sangat baik dan sukarela serta meningkatnya penerimaan remaja atas otoritas orangtua, biasanya terjadi dalam lingkungan keluarga yang hangat.

Peran ayah dalam keluarga tergolong unik, sebab selain masih dianggap utama dan sentral sebagai pencari nafkah, tapi juga lebih terlibat dalam kegiatan berupa permainan, bersifat fisik dan menantang termasuk perilaku untuk mengambil risiko dan mandiri dengan mengajak anak eksplorasi, mencari dan memanfaatkan peluang, mengatasi rintangan, lebih berani menghadapi orang lain dan orang asing, dan membela diri sendiri.

Selain itu, ada kemungkinan bahwa ayah menggunakan strategi lain untuk memperoleh informasi tentang aktivitas dan pengalaman daring anaknya juga cara menanganinya.

Kontribusi seperti inilah yang sangat dibutuhkan dalam pengasuhan digital agar anak mengoptimalkan kemanfaatan sekaligus mampu mereduksi potensi risiko terkait teknologi digital.

Para orangtua yang hadir dalam seminar ini mengetahui dan menyadari bahwa banyak risiko daring dan teknologi digital pada anak-anak, yang semakin menguat selama masa remaja.

Beberapa di antaranya adalah perilaku perundungan siber (cyber-bullying), pelecehan terkait seks secara daring, risiko menjadi korban predator seksual melalui media daring, terpapar ideologi radikal dan ekstremisme, hoax, penggunaan gawai yang berlebihan serta adiksi internet.

Orangtua juga mengakui pengetahuannya tentang perilaku daring anak cenderung kurang optimal, juga kesulitan ‘mengimbangi’ anak-anaknya dalam menggunakan teknologi digital, gawai, dan internet.

Secara khusus media sosial seringkali dianggap sebagai bagian dari ranah pribadi kaum muda, meski sangat jelas juga mencakup segi yang menuntut dan melegitimasi keterlibatan orangtua, sekalipun orangtua belum mengetahui apa dan dengan cara apa untuk menanggulangi.

Melalui sejumlah sesi pemaparan, diskusi, dan metode lainnya, para orangtua menunjukkan perubahan perilaku yang ditandai dengan meningkatnya pengetahuan, kecakapan disertai komitmen menjalankan peran mediasi dan pengasuhan digital.

Para ayah yang menjadi partisipan PKM dan peserta diskusi ini berada dalam komunitas berbasis kesukuan yang hingga saat ini diketahui menganut sistem patrilineal. Karenanya, sangat mungkin patriarkal serta meyakini stereotip peran gender yang kuat.

Meski demikian, implisit, para ayah tersebut menyatakan pentingnya ayah dalam gaya pengasuhan berkaitan dengan penggunaan teknologi digital anak sekaligus menunjukkan bukan hanya ibu yang terlibat dalam mediasi penggunaan internet.

Lebih jauh, patut diduga dan perlu diteliti lebih lanjut apakah telah terjadi pergeseran peran gender dari maskulin ke androgini atau justru disebabkan faktor-faktor lain semisal nilai personal dan/atau nilai budaya.

Ini juga sangat menarik, sama menariknya dengan respons dan antusiasme para ayah tersebut.

Terlepas dari kemungkinan bekerja lebih lama daripada ibu, bahkan bekerja sangat keras dalam mencari nafkah, misalnya, disebabkan keterbatasan ekonomi, sangat urgen para ayah menunjukkan dan memperkuat “father effect” yang dinyatakan Krisch (2018) merujuk pada manfaat kehadiran, partisipasi aktif ayah dalam keluarga yang dinilai membuat keluarga dan kehidupan anak menjadi jauh lebih baik dalam masyarakat modern dan kontemporer yang memang mengharapkan lebih dari para ayah.

Untungnya, sebagaimana ditunjukkan bapak-bapak peserta seminar dan partisipan PKM ini, ayah masa kini tampak semakin ingin terlibat dan berkomitmen mengubah cara mereka membesarkan anak-anak dan memperkuat mediasi dan pengasuhan digital.

*Bonar Hutapea, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com