Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Psikolog Unpad Jelaskan Fenomena Adopsi Spirit Doll

Kompas.com - 07/01/2022, 12:00 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Fenomena adopsi boneka arwah atau spirit doll ramai terjadi di kalangan masyarakat, khususnya pesohor tanah air.

Ada klaim, jika boneka ini bisa menetralisir hal buruk, mendatangkan aura positif, rezeki, hingga meredakan konflik.

Jalan pintas ini tentu saja menarik minat banyak orang. Padahal, boneka yang dijual pun bentuknya tidak selalu lucu ada juga yang menyeramkan.

Dosen Departemen Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Retno Hanggarani Ninin, fenomena adopsi spirit doll bisa dilihat dari sudut pandang kemampuan psikologis yang dimiliki seseorang berdasarkan proses tumbuh kembangnya.

Ninin mengatakan, setiap orang terlahir dengan kapasitas psikologis yang memungkinkan dia mampu bertahan menghadapi situasi atau persoalan apa pun.

Baca juga: Mental Care ITS: 3 Cara Self Healing untuk Sembuhkan Luka Batin

Kapasitas psikologis tersebut ditumbuhkan dan dikembangkan melalui pola asuh, pendidikan formal, serta pendidikan sosial, yang membuat kemampuannya makin mumpuni dalam menghadapi beragam persoalan ketika dewasa.

“Kalau proses itu benar dan baik, dia akan tumbuh dengan kemampuan yang cukup untuk menghadapi persoalan hidupnya,” kata Ninin dilansir dari laman Unpad.

Namun, tidak semua orang memiliki pengalaman positif dalam proses tumbuh kembangnya. Ada pengalaman pola asuh, pendidikan, dan relasi tertentu yang bisa membuat kemampuan psikologis tadi menjadi kurang mumpuni atau bahkan tidak dimiliki.

Ketidakmampuan untuk bertahan tersebut mendorong seseorang memilih cara-cara tertentu untuk menguatkan. Salah satunya menggunakan alat bantu seperti spirit doll.

“Pada dasarnya, jika seseorang dalam tumbuh kembangnya mengalami proses yang positif dan ideal, maka hal-hal itu tidak diperlukan,” imbuhnya.

Baca juga: Psikolog UGM: Cara Bangun Support System untuk Kesehatan Mental

Wajar atau tidak wajar? 

Ninin memaparkan, batas kewajaran terhadap fenomena ini bergantung pada peran yang diletakkan seseorang (pemiliknya) pada boneka tersebut. Jika anak-anak yang bermain boneka dan memperlakukannya layaknya temannya, itu merupakan sebuah kewajaran dari perspektif tumbuh kembang, karena faktor usianya.

“Pada usia anak, ketika dia berkomunikasi dengan boneka, seolah-olah bonekanya hidup dan menjadi teman bermain itu adalah sesuatu yang wajar. Kita tidak menganggapnya wajar ketika di tahapan usia lanjut, mereka memperlakukan boneka dengan cara yang sama,” katanya.

Ninin mengungkapkan, ketika di usia dewasa seseorang masih memperlakukan boneka seperti pada usia anak-anak, maka ada sesuatu dari kondisi psikologisnya yang mencetuskan dia untuk membutuhkan cara tersebut.

Ketidakmampuan seseorang dalam menghadapi persoalan hidup secara mandiri kadang kala membuatnya memerlukan teman untuk mendengar, berdiskusi, dan berbicara. Ketiadaan pendamping yang bisa diajak mendengar, berkomunikasi, dan memberikan dukungan, bisa jadi membuat seseorang memilih untuk memiliki “teman komunikasi” yang lain.

“Kalau kita lihat, pada umumnya, berdasarkan tradisi dan budaya, perilaku itu bisa jadi tidak lazim. Akan tetapi, kenyataannya ada orang yang memilih cara itu untuk membuatnya memiliki teman berkomunikasi atau teman hidup. Padahal, ‘teman’ yang dia pilih itu tidak bisa menjadi partner untuk memberikan komunikasi atau emosi balasan,” jelasnya.

Baca juga: Biaya Kuliah S1 Jurusan Psikologi UI, UGM, Unpad, Unair, Undip

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com