Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peneliti Ungkap Fakta Terbaru Runtuhnya Anak Krakatau pada 2018

Kompas.com - 30/12/2021, 16:15 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Runtuhnya sebagian tubuh Anak Krakatau di Indonesia pada 22 Desember 2018 silam ternyata memiliki cerita panjang.

Kejadian alam tersebut, disebabkan oleh proses destabilisasi jangka panjang dan tidak dipicu oleh perubahan mencolok dalam sistem magmatik yang dapat dideteksi oleh teknik pemantauan yang ada saat ini.

Hal tersebut tercatat di penelitian terbaru yang berjudul Downward-propagating eruption following vent unloading implies no direct magmatic trigger for the 2018 lateral collapse of Anak Krakatau dan dipublikasikan dalam Earth and Planetary Science Letters.

Baca juga: Ahli Vulkanologi ITB: 3 Hal yang Membuat Erupsi Gunung Semeru

Anak Krakatau telah meletus selama sekitar enam bulan sebelum keruntuhan dan memperlihatkan lebih dari dua pertiga dari ketinggiannya meluncur ke laut saat pulau itu seolah terbelah menjadi dua.

Peristiwa tersebut memicu tsunami dahsyat, yang menggenangi garis pantai Jawa dan Sumatera dan menyebabkan kematian lebih dari 400 orang.

Sebuah tim penelitian Inggris dan Indonesia yang dipimpin oleh University of Birmingham memeriksa material vulkanik dari pulau-pulau terdekat guna mencari petunjuk untuk menentukan apakah letusan kuat dan eksplosif yang diamati sesaat setelah keruntuhan itu memicu tanah longsor dan tsunami.

Bekerja dengan peneliti di Institut Teknologi Bandung, Universitas Oxford dan British Geological Survey, tim melihat karakteristik fisik, kimia dan mikrotekstur dari material hasil letusan. Disimpulkan bahwa letusan eksplosif besar yang terkait dengan keruntuhan justru disebabkan oleh sistem magmatik yang menjadi tidak stabil sesaat setelah longsoran berlangsung.

Ini berarti sangat kecil kemungkinannya, bencana di penghujung 2018 lalu disebabkan oleh magma yang memaksa naik ke permukaan dan memicu tanah longsor.

Baca juga: 8 Hutan Paling Seram di Dunia, Salah Satunya di Indonesia

Metode pemantauan gunung berapi saat ini merekam aktivitas seismik dan sinyal lain yang disebabkan oleh magma yang naik melalui gunung berapi, namun peristiwa Anak Krakatau 2018 ini tidak dipicu dari dalam melainkan dari luar yaitu hilangnya tubuh gunung secara tiba-tiba, maka tidak akan terdeteksi menggunakan teknik yang ada saat ini.

“Jenis bahaya vulkanik ini jarang terjadi, sangat sulit diprediksi dan sering kali menghancurkan. Temuan kami menunjukkan bahwa, meskipun ada letusan eksplosif yang dramatis setelah runtuhnya Anak Krakatau, ini dipicu oleh tanah longsor yang melepaskan tekanan pada sistem magma, seperti gabus sampanye yang meletus," ujar Sebastian Watt, dari Fakultas Geografi, Ilmu Bumi dan Lingkungan Universitas Birmingham, sekaligus penulis senior makalah tersebut yang dilansir dari laman Institut Teknologi Bandung (ITB).

Hasilnya, bisa menghadirkan tantangan untuk memprediksi bahaya masa depan di pulau-pulau gunung api.

Sementara, Mirzam Abdurrachman, dari Institut Teknologi Bandung, menjelaskan, jika tanah longsor berskala besar terjadi di daerah vulkanik sebagai akibat dari ketidakstabilan jangka panjang.

“Apa yang coba disampaikan Anak Krakatau 2018, mungkin bisa menjawab beberapa hal yang terjadi di Semeru pada saat ini, terjadi secara tiba-tiba dan tanpa tanda-tanda khusus,” jelasnya.

Baca juga: 5 Negara dengan Populasi Terbanyak di Dunia, Indonesia Nomor Berapa?

Hal itu dapat terjadi tanpa perubahan khas dalam aktivitas magmatik di gunung berapi. Ini berarti fenomena tersebut dapat terjadi secara tiba-tiba dan tanpa peringatan yang jelas.

"Temuan ini penting bagi orang-orang yang tinggal di daerah yang dikelilingi oleh gunung berapi aktif dan pulau-pulau gunung api di tempat-tempat seperti Indonesia, Filipina, dan Jepang,” tambah Mirzam.

Kyra Cutler, peneliti utama dari Universitas Oxford mengatakan mengevaluasi pertumbuhan jangka panjang dan pola deformasi gunung berapi akan sangat membantu memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kemungkinan terjadinya fenomena tersebut.

“Tentu ini akan sangat relevan untuk Anak Krakatau saat ia membangun kembali tubuhnya menjadi lebih besar. Mengidentifikasi daerah yang rentan, bersama dengan upaya untuk mengembangkan deteksi tsunami nonseismik, akan meningkatkan strategi manajemen bahaya secara keseluruhan untuk masyarakat yang berisiko,” pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com