Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Relawan Bencana Mudah Stres, Ini Saran Dosen UM Surabaya

Kompas.com - 25/12/2021, 10:00 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Bencana erupsi gunung Semeru telah menggerakkan elemen masyarakat termasuk para tenaga kesehatan (nakes) dan masyarakat luas untuk menjadi relawan yang terjun membantu korban erupsi di lapangan.

Apalagi, selama bencana ini terjadi sejak Sabtu, (4/12/2021) telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 46 orang.

Hingga kini, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) memperpanjang Operasi Disaster Victim Indentification (DVI), untuk mengidentifikasi korban letusan Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, sampai dengan tanggal 3 Januari 2022.

Baca juga: Beasiswa Guru Training ke Jepang 2022, Tunjangan Rp 17 Juta Per Bulan

Di pengungsian korban Gunung Semeru, juga masih banyak warga yang membutuhkan pertolongan. Termasuk para relawan yang sigap membantu di lokasi hingga saat ini.

Namun selama berkegiatan, para relawan akan melakukan serangkaian kegiatan dengan para penyintas dan hal yang sering dilupakan bahwa para relawan yang berinteraksi dengan penyintas dengan durasi cukup lama.

Hal itu berpotensi mengalami secondary traumatic atau kondisi stres yang dapat terjadi dalam waktu cepat maupun secara perlahan.

Uswantun Hasanah, Dosen Keperawatan Jiwa Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) mengungkapkan bahwa stres bukan hanya terjadi pada korban bencana.

Hal tersebut bisa sangat mungkin terjadi pada relawan bencana. Baik tenaga kesehatan (nakes) atau tenaga yang lain.

"Kondisi stres atau bahkan trauma terjadi karena seringnya mereka berada di lokasi pengungsian, terus berinteraksi, bahkan turut mendengarkan pengalaman yang tidak menyenangkan dari para penyintas dalam waktu yang lama. Hal tersebut mendorong para relawan merasakan kesedihan dan penderitaan," ungkap Uswatun, dilansir dari laman UM Surabaya.

Baca juga: Kemendikbud Buka Beasiswa Kuliah Merdeka Belajar, Mahasiswa Yuk Daftar

Kondisi stres yang kemungkinan terjadi membutuhkan dukungan psikososial agar para relawan tetap sehat secara mental.

"Dukungan psikososial juga diperlukan oleh para relawan agar mereka memiliki ketahanan mental selama berinteraksi dengan para penyintas" tutur dosen muda alumnus Universitas Indonesia.

Selama di lapangan Uswatun memberikan pelatihan kepada para relawan tentang implementasi Psychological First Aid (PFA) pada pelayanan primer, coaching penggunaan teknik relaksasi nafas dalam, dan relaksasi otot progresif.

“Dukungan psikosial diberikan kepada para relawan agar memiliki koping yang adaptif dan mampu beradaptasi pada situasi dan kondisi saat ini. Selain memberikan dukungan, juga dilakukan coaching pada nakes di puskesmas dan kader kesehatan jiwa, agar ke depannya mereka mampu memberikan penanganan masalah psikososial sederhana secara mandiri," ujarnya. 

Uswatun menambahkan pula bahwa dirinya melakukan aksi dukungan psikososial bergabung dengan tim Dukungan Kesehatan Jiwa Dan Psikososial (DKJPS) dari Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza (P2MKJN) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES RI).

Baca juga: Alasan dan Tujuan Depresi Hadir di Hidup Manusia

Salah satu daerah yang menjadi perhatian adalah Puskesmas Tempeh, Puskesmas Penanggal, Puskesmas Candipuro dan beberapa lokasi sekitar bencana.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com