Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ahli Vulkanologi ITB: 3 Hal yang Membuat Erupsi Gunung Semeru

Kompas.com - 06/12/2021, 09:40 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Erupsi Gunung Semeru pada Sabtu sore, (4/12/2021) sekitar pukul 14.50 WIB, menimbulkan dampak besar bagi dua daerah yang terdampak, yakni Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang.

Menurut rilis resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada 13 orang yang dinyatakan tewas akibat tragedi ini.

Mengutip dari Magma Indonesia, visual letusan tidak teramati, tetapi erupsi ini terekam di seismograf dengan amplitudo maksimum 25 mm dan durasi 5160 detik.

Ahli Vulkanologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Mirzam Abdurrachman mengatakan, material aliran lahar yang terjadi di Gunung Semeru merupakan akumulasi dari letusan sebelumnya yang menutupi kawah gunung tersebut.

Baca juga: Webinar IPB: Seperti Ini Pertolongan Pertama pada Gigitan Ular

“Terkikisnya material abu vulkanik yang berada di tudung gunung tersebut membuat beban yang menutup Semeru hilang sehingga membuat gunung mengalami erupsi,” katanya, dikutip dari laman ITB.

Menurut Mirzam, saat terjadi erupsi, sering kali warga cenderung tidak merasakan adanya gempa, tetapi tetap terekam oleh seismograf. Hal ini disebabkan oleh sedikitnya material yang berada di dalam dapur magma.

Dia menjelaskan, penyebab Gunung Semeru bisa meletus. Ada tiga hal yang menyebabkan sebuah gunung api bisa meletus.

Pertama, karena volume di dapur magmanya sudah penuh; kedua, karena ada longsoran di dapur magma yang disebabkan terjadinya pengkristalan magma; dan yang ketiga, di atas dapur magma.

“Faktor yang ketiga ini sepertinya yang terjadi di Semeru, jadi ketika curah hujannya cukup tinggi, abu vulkanik yang menahan di puncaknya baik dari akumulasi letusan sebelumnya, terkikis oleh air, sehingga gunung api kehilangan beban," tambahnya.

Baca juga: Cara Ampuh Usir Tikus di Rumah ala Ahli Tikus IPB

Sehingga meskipun isi dapur magmanya sedikit yang bisa dilihat dari aktivitas kegempaan yang sedikit (hanya bisa dideteksi oleh alat namun tidak dirasakan oleh orang yang tinggal di sekitarnya), Semeru tetap bisa terjadi erupsi,” jelasnya.

Dosen pada Kelompok Keahlian Petrologi, Vulkanologi, dan Geokimia, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) itu mengatakan, Gunung Semeru merupakan salah satu gunung api aktif tipe A.

Berdasarkan data dan pengamatan yang dilakukan. Mirzam berkesimpulan bahwa Gunung Semeru memiliki interval letusan jangka pendeknya 1-2 tahun.

Terakhir tercatat pernah juga mengalami letusan di tahun 2020 juga di bulan Desember. “Letusan kali ini, volume magmanya sebetulnya tidak banyak, tetapi abu vulkaniknya banyak sebab akumulasi dari letusan sebelumnya,” jelasnya.

Namun, menurut Mirzam arah letusan gunung Semeru bisa diprediksi yaitu mengarah ke tenggara. Hal ini karena mengacu pada peta Geologi Semeru, bidang tempat lahirnya gunung ini tidak horizontal tetapi miring ke arah selatan.

Baca juga: Jakarta Bakal Tenggelam atau Tergenang? Ini Kata Peneliti ITB

“Kalau kita mengacu pada letusan 2020, arah abu vulkaniknya itu cenderung ke arah tenggara dan selatan karena anginnya berhembus ke arah tersebut begitu juga dengan aliran laharnya karena semua sungai yang berhulu ke puncak Semeru semua mengalir ke arah selatan dan tenggara,” ujarnya.

Mirzam mengindikasikan abu vulkanik gunung semeru cenderung berat yang ditandai dengan warnanya yang abu-abu pekat. Hal tersebut terlihat dari visual di puncak Gunung Semeru.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com