Oleh: Diannita Ayu Kurniasih | Guru SDN 2 Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah
KOMPAS.com - Hari ini dunia memperingati Hari Disabilitas Internasional. Peringatan Hari Disabilitas Internasional menjadi notifikasi kita semua untuk lebih memperhatikan hak dan kesejahteraan penyandang disabilitas, termasuk di sekolah.
Sekolah inklusi atau yang dikenal sebagai sekolah penyelenggara pendidikan inklusi (SPPI) merupakan wujud nyata keterbukaan sekolah memfasilitasi keberagaman siswa dalam pembelajaran. SPPI berbeda dengan Sekolah Luar Biasa (SLB) dan sekolah umum.
Di SPPI, terdapat kelompok anak yang terlihat biasa, namun ada juga kelompok anak yang menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok dibandingkan dengan temannya. Sebut saja seperti pada anak berkebutuhan khusus (ABK) atau yang kemampuan akademiknya rendah.
Mereka bisa saja mendapatkan perlakuan yang berbeda dari teman mereka ketika ada penugasan kelompok karena dianggap tidak dapat berkontribusi bagi kelompok.
Di sinilah peran guru sebagai fasilitator pembelajaran harus bisa menumbuhkan empati dan simpati kepada anak. Mereka perlu dilatih dapat menerima perbedaan dengan saling mendukung, menghargai, dan menguatkan.
Cara ini dapat dilakukan dengan memberikan pengertian mengenai bagaimana jika mereka berada pada posisi ABK tersebut. Apakah mereka siap untuk diperlakukan berbeda?
Peserta didik berkebutuhan khusus yang bersekolah di SPPI pasti memiliki alasan untuk tidak bersekolah di SLB. Salah satu alasan dari orang tua karena mereka ingin dapat diterima di lingkungan umum.
Meskipun dari pemerintah sudah mengeluarkan regulasi bahwa semua sekolah harus siap menjadi SPPI dengan tetap membuka peluang bagi peserta didik berkebutuhan khusus untuk dapat bersekolah, namun kenyataannya tidak semudah itu.
Baca juga: Sejarah Hari Disabilitas Internasional dan Upaya Memenuhi Hak Penyandang Disabilitas...
Masih ada sekolah yang belum bisa memosisikan diri sebagai lembaga partner masyarakat. Misalnya, masih ada anak yang merasa tidak nyaman dengan perlakuan teman-temannya ketika di sekolah.
Bahkan, masih ada pihak sekolah yang “menolak” peserta didik yang dianggap berbeda. Padahal orang tua atau peserta didik berkebutuhan khusus juga tidak akan menuntut untuk dapat menuntaskan secara penuh kurikulum seperti anak lainnya.
Pengalaman yang pernah saya temui sebagai guru di SPPI adalah ketika menerima anak pindahan dari sekolah lain.
Ada orangtua peserta didik yang pindah dari sekolah di luar kecamatan, mengungkapkan bahwa anaknya merasa tidak nyaman karena selalu dirundung teman-teman karena kemampuan akademiknya yang rendah.
Pada awal masuk, anak tersebut hanya terdiam, namun dengan motivasi guru dan rekan sekelasnya, anak tersebut diberi kepercayaan menjadi ketua kelas. Pada awal menyandang jabatan ketua kelas kemampuannya masih diragukan.
Seiring waktu, kemampuan kepemimpinannya mulai tampak, meskipun dalam hal akademik masih di bawah teman-temannya.
Motivasi untuk datang ke sekolah juga semakin meningkat. Hal ini diketahui dari diskusi dengan orang tua bahwa anak tersebut selalu semangat untuk bersekolah, berbeda ketika masih di sekolah lama.
“Anas sekarang kalau subuh sudah langsung mandi bu, siap-siap mau ke sekolah,” ungkap Zaenal orang tua Anas yang juga pengawas sekolah.
Baca juga: Hari Disabilitas Internasional: Sejarah, Logo, dan 10 Link Twibbon
Ternyata, pengalaman ketika bersekolah di SD pun terbawa sampai sekarang. Anas yang sekarang sudah kelas 3 SMP di sebuah pondok pesantren, selalu menyempatkan diri untuk menyapa guru-guru SD jika dia sedang libur.
Hal ini menunjukkan bahwa dukungan dari lingkungan sekitar akan dapat meningkatkan kepercayaan diri anak berkebutuhan khusus dan mengurangi trauma perundungan yang pernah diterimanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.