Makanya, belum lama ini seorang rekan anggota DPR Dapil Papua berterus terang bahwa sulit sekali menata pendidikan di wilayah Papua karena wilayah geografis yang luas dan ketersediaan infrasktuktur yang tidak memadai.
Dalam aspek sumber daya manusia (kepala sekolah dan guru), kita pun masih menghadapi tantangan berat. Selain jumlahnya terbatas dan penyebaran yang tidak merata, kompetensi mereka pun masih sangat bervariasi.
Baca juga: Kampus Merdeka, Prestasi, dan Manajemen Talenta Wujudkan SDM Unggul Berkarakter
Ada yang sangat bagus, tapi tak sedikit yang masih belum bagus, karena latar belakang pendidikan dan kondisi sosial-ekonomi yang lemah akibat upah yang rendah.
Dari aspek manajemen, para pengelola pendidikan kita tampaknya belum bebas dari tuntutan adminstratif.
Dalam hal keuangan, para pengelola pendidikan kita juga belum terbiasa dengan model manajemen yang transparan dan akuntabel.
Makanya, tak sedikit dana pendidikan yang dikucurkan pemerintah diberitakan bocor di mana-mana, dan tak bisa dipertanggungjawabkan.
Memang, untuk membangun sistem pendidikan yang baik butuh waktu panjang, fokus dan konsisten.
Sekadar membandingkan, Findlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, membangun pendidikan secara fokus dan konsisten selama 40 tahun.
Sepanjang waktu itu, Findlandia fokus membenahi standar mutu guru, mendidiknya pada universitas yang sama lalu menyebarkan ke seluruh wilayah, baik di kota maupun di desa.
Di sana setiap sekolah diwajibkan memiliki tujuan nasional yang sama dan dikelola oleh mereka yang mendapat pelatihan yang sama.
Baca juga: Hardiknas: Merdeka Belajar agar Siswa Tak Terkotak
Lebih dari itu, pemerintah pusat dan daerah punya fokus dan kemauan politik yang sama atas pendidikan.
Dengan demikian semua anak Finlandia memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, tak peduli apakah dia tinggal di desa atau kota.
Berkaca dari pengalaman seperti itu, dan melihat kemauan politik kita yang relatif lemah, rasanya ambisi Kemendikbud untuk memiliki pendidikan Indonesia meraih standar mutu yang sama dan tersebar secara merata dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Rote dalam satu periode pemerintahan ini sepertinya sesuatu yang mustahil.
Memang, sesekali kita membaca berita media perihal hasil reka cipta dan pendaftaran paten dari beberapa siswa dan guru atau dosen. Namun, harus kita akui pula bahwa jumlahnya masih sangat minim.
Di kawasan Asean, Indonesia menduduki urutan ke 5, dengan Patent Cooperation Treaty (PCT). Kita kalah jauh dari Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan Vietnam. Kita berada di atas Brunei Darussalam.
Mengapa demikian? Alasannya, ya itu tadi, kita belum berhasil menyediakan ekosistem yang kondusif bagi lahirnya reka cipta di dunia pendidikan.
Padahal beberapa tahun terakhir, setiap tahun anggaran Kemendikbud menyediakan dana ratusan miliaran rupiah guna mendorong supaya para insan pendidikan melakukan penelitian dan menulis jurnal ilmiah.
Namun, hasilnya tidak maksimal. Kegiatan penelitian itu lebih dimaknai sebagai persyaratan administraif untuk kenaikan pangkat/jenjang akademis, bukan terutama untuk reka cipta yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong kemajuan sains dan teknologi dan kemudian diterapkan untuk memajukan kesejahteraan warga bangsa.
Reka cipta sejatinya bukan sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Namun, itu adalah sebuah proses yang panjang dan memerlukan uji coba yang terus menerus.