Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Membangun Ekosistem Reka Cipta di Sektor Pendidikan

Kompas.com - 18/11/2021, 10:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAK lama berselang setelah diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Oktober 2019 lalu, Nadiem Makarim gencar mengampanyekan program Merdeka Belajar dan Kemudian Kampus Merdeka.

Berkenaan dengan itu, Kemendikbud membangun kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan. Sasarannya adalah membangun ekosistem reka cipta di tanah air dan juga mendorong peran serta dunia industri serta inovator untuk menumbuhkan reka cipta di sektor pendidikan, terutama di perguruan tinggi.

Untuk mencapai sasaran tersebut, Kemendikbud mengambil beberapa langkah strategis, di antaranya membangun link and match melalui gotong royong penta-helix antara perguruan tinggi dengan dunia industri.

Selain itu, Kemendikbud mendorong penerapan proses pembelajaran dalam Kampus Merdeka, salah satunya dengan mempercepat perwujudan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa (student centered learning).

Baca juga: Merdeka Belajar, Now or Never?

Kemendikbud percaya bahwa model pembelajaran ini dapat memberikan tantangan dan kesempatan untuk pengembangan inovasi, kreativitas, kapasitas, kepribadian, dan kebutuhan mahasiswa.

Selain itu, juga diyakini dapat mengembangkan kemandirian dalam mencari dan menemukan pengetahuan melalui kenyataan dan dinamika lapangan seperti persyaratan kemampuan, permasalahan riil, interaksi sosial, kolaborasi, manajemen diri, tuntutan kinerja, target dan pencapaiannya.

Kemendikbud berharap melalui kerja gotong royong tersebut, reka cipta di lingkup pendidikan bertumbuh subur menghasilkan inovasi sains dan tekonologi yang selaras dengan kebutuhan masyarakat.

Ketika pandemi Covid-19 merebak, diharapkan institusi pendidikan mampu menghasilkan reka cipta yang dapat mengatasinya.

Singkatnya, Kemedikbud optimistis bahwa ekosistem reka cipta yang demikian akan membawa pada arah kemajuan bangsa yang lebih baik.

Baca juga: Kedai Reka, Membangun Kolaborasi Reka Cipta Kampus dan Dunia Industri

Mengandaikan pendidikan yang bermutu

Kita sepatutnya mengapresiasi dan mendukung komitmen dan upaya Kemendikbud membangun ekosistem reka cipta di lingkungan pendidikan.

Sebab, apabila ekosistem reka cipta tercipta baik maka akan lahir berbagai reka cipta atau invensi (penemuan baru).

Ketika banyak invensi baru lahir maka akan banyak permohonan pendaftaran hak paten sebagai bagian dari hak kekayaan intelektual.

Dalam era digital sekarang, reka cipta dan paten dalam bidang Iptek adalah penentu kemajuan dan pertumbuhan di berbagai bidang kehidupan, tak terkecuali di bidang ekonomi dan bisnis.

Pertanyaannya, bagaimana caranya membangun ekosistem reka cipta yang dapat merangsang penelitian yang menghasilkan berbagai temuan baru di bidang Iptek?

Apakah ekosistem reka cipta dapat terbentuk cukup dengan mempropagandakan program seperti Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka?

Baca juga: Program Magang dan Kampus Mengajar Jadi Flagship Kampus Merdeka

Pertanyaan tersebut memang tidak mudah untuk dijawab. Namun, berkaca dari negara-negara yang kaya akan reka cipta dan paten seperti Amerika Serikat, dapat disimpulkan bahwa ekosistem reka cipta hanya bisa bertumbuh kalau dunia pendidikan memiliki mutu yang baik.

Mutu yang baik tentu saja menyaratkan infrastruktur yang memadai, guru dan dosen yang berkompeten dengan gaji memadai, berkomitmen kuat, pendanaan yang kuat, dan manajemen yang baik, serta kemauan politik yang kuat.

Sayangnya, dari berbagai asesmen baik yang dilakukan lembaga dalam negeri atau lembaga internasional, diketahui bahwa dunia pendidikan kita masih lemah dalam semua aspek pendukung mutu.

Dalam aspek infrastruktur fisik (bangunan dan ruang kelas) dan teknologi informasi misalnya, kita masih terseok-seok membenahinya. Selain karena anggaran yang terbatas, kemauan politik yang belum cukup kuat, kita berhadapan dengan wilayah geografis yang sangat luas.

Makanya, belum lama ini seorang rekan anggota DPR Dapil Papua berterus terang bahwa sulit sekali menata pendidikan di wilayah Papua karena wilayah geografis yang luas dan ketersediaan infrasktuktur yang tidak memadai.

Dalam aspek sumber daya manusia (kepala sekolah dan guru), kita pun masih menghadapi tantangan berat. Selain jumlahnya terbatas dan penyebaran yang tidak merata, kompetensi mereka pun masih sangat bervariasi.

Baca juga: Kampus Merdeka, Prestasi, dan Manajemen Talenta Wujudkan SDM Unggul Berkarakter

 

Ada yang sangat bagus, tapi tak sedikit yang masih belum bagus, karena latar belakang pendidikan dan kondisi sosial-ekonomi yang lemah akibat upah yang rendah.

Dari aspek manajemen, para pengelola pendidikan kita tampaknya belum bebas dari tuntutan adminstratif.

Dalam hal keuangan, para pengelola pendidikan kita juga belum terbiasa dengan model manajemen yang transparan dan akuntabel.

Makanya, tak sedikit dana pendidikan yang dikucurkan pemerintah diberitakan bocor di mana-mana, dan tak bisa dipertanggungjawabkan.

Memang, untuk membangun sistem pendidikan yang baik butuh waktu panjang, fokus dan konsisten.

Sekadar membandingkan, Findlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, membangun pendidikan secara fokus dan konsisten selama 40 tahun.

Sepanjang waktu itu, Findlandia fokus membenahi standar mutu guru, mendidiknya pada universitas yang sama lalu menyebarkan ke seluruh wilayah, baik di kota maupun di desa.

Di sana setiap sekolah diwajibkan memiliki tujuan nasional yang sama dan dikelola oleh mereka yang mendapat pelatihan yang sama.

Baca juga: Hardiknas: Merdeka Belajar agar Siswa Tak Terkotak

 

Lebih dari itu, pemerintah pusat dan daerah punya fokus dan kemauan politik yang sama atas pendidikan.

Dengan demikian semua anak Finlandia memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, tak peduli apakah dia tinggal di desa atau kota.

Berkaca dari pengalaman seperti itu, dan melihat kemauan politik kita yang relatif lemah, rasanya ambisi Kemendikbud untuk memiliki pendidikan Indonesia meraih standar mutu yang sama dan tersebar secara merata dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Rote dalam satu periode pemerintahan ini sepertinya sesuatu yang mustahil.

Memang, sesekali kita membaca berita media perihal hasil reka cipta dan pendaftaran paten dari beberapa siswa dan guru atau dosen. Namun, harus kita akui pula bahwa jumlahnya masih sangat minim.

Di kawasan Asean, Indonesia menduduki urutan ke 5, dengan Patent Cooperation Treaty (PCT). Kita kalah jauh dari Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan Vietnam. Kita berada di atas Brunei Darussalam.

Mengapa demikian? Alasannya, ya itu tadi, kita belum berhasil menyediakan ekosistem yang kondusif bagi lahirnya reka cipta di dunia pendidikan.

Padahal beberapa tahun terakhir, setiap tahun anggaran Kemendikbud menyediakan dana ratusan miliaran rupiah guna mendorong supaya para insan pendidikan melakukan penelitian dan menulis jurnal ilmiah.

Namun, hasilnya tidak maksimal. Kegiatan penelitian itu lebih dimaknai sebagai persyaratan administraif untuk kenaikan pangkat/jenjang akademis, bukan terutama untuk reka cipta yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong kemajuan sains dan teknologi dan kemudian diterapkan untuk memajukan kesejahteraan warga bangsa.

Reka cipta berkaitan dengan proses belajar

Reka cipta sejatinya bukan sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Namun, itu adalah sebuah proses yang panjang dan memerlukan uji coba yang terus menerus.

Cara kerja yang demikian hanya bisa lahir dari sistem pendidikan yang mengedepankan pembelajaran yang menekankan proses bukan pada hasil akhir yang ditentukan melalui ujian.

Sejauh ini, sistem pendidikan kita justru sangat menekankan pada hasil akhir itu. Bahkan, ketika gencar mengampanyekan Merdeka Belajar, Kemedikbud justru masih berorientasi pada hasil juga.

Kalau sebelumnya ada Ujian Nasional (UN) sekarang diganti dengan Asesmen Nasional yang substansinya nyaris sama saja.

Berbeda dengan di sistem pendidikan di Finlandia. Di sana ujian tidak mendapatkan penekanan.

Ketika meraih skor PISA terbaik sedunia Kemendikbud Finlandia menyatakan negaranya tidak terlalu tertarik dengan PISA.

“Itu bukan fokus kami. Fokus kami adalah mempersiapkan anak-anak untuk belajar bagaimana belajar, bukan bagaimana menghadapi ujian.”

Mengandaikan inovasi berbasis teknologi informasi

Dokomen OECD 2014 menyebutkan data mengenai reka cipta dan paten memberi kita pandangan yang lebih optimistis tentang inovasi di sektor pendidikan.

Bahwa untuk mendorong pertumbuhan reka cipta dan paten, dunia pendidikan harus memulai dengan menerapkan teknologi informasi untuk inovasi dalam pendidikan.

Foray dan Raffo (2009) mengatakan, sensasi yang dialami para siswa ketika sekolah menerapkan teknologi informasi dalam proses pembelajaran bisa menginspirasi dan memotivasi mereka untuk melakukan penelitian yang berorientasi pada reka cipta dan paten.

Oleh karena itu, meskipun jumlahnya masih relatif rendah, permohonan paten yang diajukan dalam domain teknologi pendidikan dan pengajaran telah meningkat tiga kali lipat sejak tahun 2000 di berbagai negara maju.

Data tersebut mengisyaratkan bahwa penerapan teknologi dan inovasi dalam prores pembelajaran adalah ekosistem yang ideal untuk merangsang para siswa melahirkan reka cipta dan paten.

Mengikuti tren model bisnis

Aspek yang teakhir dibutuhkan untuk mengembangkan ekosistem reka cipta di lingkup pendidikan adalah tren model bisnis.

Pengalaman berbagai negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang dan Kanada menunjukkan bahwa ekosistem reka cipta di sekolah bisa mubazir kalau pihak sekolah tidak mengikuti tren model bisnis yang sedang berkembang di masyakakat.

Buktinya, kelalaian sekolah di Amerika Serikat mengikuti tren model bisnis yang sedang berkembang berdampak pada penurunan signifikan jumlah reka cipta dan pendaftaran paten dari insan pendidikan selama 15 tahun terakhir, yaitu dari 45 persen merosot menjadi 24 persen.

Tren penurunan juga terjadi di Cina, Jepang, Korea Selatan dan Kanada.

Jadi, supaya ekosistem reka cipta di dunia pendidikan dapat terbangun, Kemendikbud harus mendorong seluruh insan pendidikan untuk selalu bertukar infomasi secara real time dengan pelaku bisnis, terutama pelaku bisnis yang sedang mengembangkan model bisnis dengan teknologi paling mutakhir.

Kemendikbud perlu mendorong sekolah dan perguruan tinggi untuk bekerja sama dengan dunia usaha dan industri untuk mengadopsi model bisnis yang sedang tren masa kini atau pun masa depan. 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com