Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Epidemiolog UGM: PCR Tidak Efektif untuk Syarat Perjalanan

Kompas.com - 26/10/2021, 12:44 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Meski mengundang kritik terkait soal keadilan, penggunaan syarat wajib tes Covid-19 dengan metode polymerase chain reaction (PCR) untuk penumpang pesawat terbang dinilai sebagai bentuk antisipasi penularan Covid-19 di Indonesia.

Hal tersebut tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 53 tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3, 2, dan 1 Covid-19 di Jawa-Bali.

Baca juga: Guru Besar Unair: Orang Hidup Miskin Bukan karena Malas Kerja

Sedangkan penumpang moda transportasi darat, laut, dan kereta api dengan tujuan Jawa-Bali maupun non Jawa-Bali berstatus PPKM Level 3 dan 4 disyaratkan vaksinasi minimal dosis pertama plus keterangan hasil negatif PCR dengan masa berlaku 2x24 jam, atau hasil rapid test antigen yang berlaku 1x24 jam.

"Kalau alasannya ini, sepengetahuan saya ini rilis dari satgas dan PCR dianggap lebih efektif dalam mendeteksi apalagi saat ini kapasitas kan sudah diperbolehkan 100 persen. Jadi, mereka ingin skrining lebih ketat," ujar Epidemiolog UGM, Bayu Satria Wiratama melansir laman UGM, Selasa (26/10/2021).

Dia mengaku sejak awal tidak setuju penggunaan antigen atau PCR untuk syarat perjalanan dengan moda transportasi apapun.

Menurut dia, penggunaan antigen/PCR dinilai tidak efektif jika hanya digunakan pemeriksaan satu kali tanpa indikasi apapun misalnya indikasi kontak erat.

"Jadi, bagi saya itu langkah sia-sia dan selama ini satgas tidak pernah juga melakukan evaluasi atau studi untuk membuktikan bahwa penggunaan antigen/PCR itu efektif mencegah penularan lintas daerah," terangnya.

Hal tersebut dinilai tidak efektif karena kebijakan semacam ini tidak ditemui di negara lain.

Di negara-negara lain tidak ada yang menggunakan persyaratan semacam ini untuk perjalanan domestik di dalam negeri.

Dalam penilaiannya meskipun hasil PCR/antigen negatif tidak menjamin tidak sedang terinfeksi.

Terlebih pemeriksaan hanya dilakukan sekali tanpa indikasi dinilai lemah efektivitasnya.

Baca juga: Pakar Media Unair: Konten Kisah Kemiskinan Langgar Etika

"Karenanya yang lebih penting adalah vaksin dan memakai masker serta sirkulasi udara yang baik," ungkapnya.

Untuk itu, katanya, sebagai solusinya perlu mempertimbangkan kembali aturan tersebut.

Jika perlu lakukan pencabutan atas aturan menggunakan PCR/antigen tersebut dan melakukan evaluasi tersebut efektif atau tidak.

Dalam pandangannya pemerintah Indonesia sering kali membuat kebijakan tanpa dilandasi alasan ilmiah yang kuat.

Kalaupun kemudian ingin mengurangi jumlah penumpang sebaiknya kembali saja dengan aturan pembatasan kapasitas.

"Jadi, tidak perlu dengan PCR. Belum lagi nanti ada permainan surat antigen atau PCR palsu yang hanya akan menguntungkan finansial para pembuat suratnya. Sekali lagi paling penting di perjalanan domestik itu masker, vaksin dan sirkulasi udara yang baik serta bisa jaga jarak," sebut dia.

Dia menambahkan meski dengan PCR tidak menjamin tidak ada penularan Covid-19.

Untuk itu, yang terpenting vaksin, disiplin dalam pemakaian masker dan jaga jarak yang ketat.

Apalagi untuk perjalanan jarak jauh disiplin pemakaian masker sangat diharuskan.

Kapasitas penumpang 50 – 75 persen dengan diatur jarak antar penumpang, dan menyediakan ruangan khusus untuk makan yang terpisah dari tempat duduk (khusus moda kereta api).

Baca juga: Pakar UGM: Munculnya Gelombang Ketiga Covid-19 Tergantung Masyarakat

"Dengan cara seperti itu sudah cukup membantu. Sebab penelitian di Indonesia sampai saat ini masih kurang membahas mengenai sebenarnya seberapa besar risiko tertular di transportasi publik. Karena kembali lagi pemegang datanya tidak mau melakukan evaluasi soal itu," terangnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com