Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Guru Besar Unair: Orang Hidup Miskin Bukan karena Malas Kerja

Kompas.com - 24/10/2021, 06:43 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Siapa yang ingin hidup miskin? Tentu tak satu pun dari kita ingin hidup dalam kemiskinan.

Konon, jika kita malas bekerja, hidup akan jadi lebih sulit. Lantas bagaimana kemiskinan dan kemalasan saling berkaitan?

Baca juga: Dosen UGM Ungkap Cara Meningkatkan Produksi Ayam Kampung

Dari kacamata Ilmu Sosiologi, ada dua pandangan mengenai sebab kemiskinan.

Pertama, kemiskinan dianggap bersumber dari hal-hal yang berkaitan dengan karakteristik psikologis kultural individu. Contohnya malas atau tidak punya etos wirausaha.

Kedua, kemiskinan muncul dari faktor-faktor struktural. Seperti kurangnya kesempatan dan kompetisi yang terlalu ketat atau tidak memiliki modal usaha.

Atas dasar hal itu, Guru Besar FISIP Unair, Bagong Suyanto angkat bicara.

Menurut dia, miskin dan malas tidak berhubungan. Sebab, kemiskinan terjadi karena faktor-faktor yang sifatnya struktural daripada kultural.

"Kita terbiasa menghakimi orang yang miskin sebagai orang yang malas atau tidak mau bekerja keras. Padahal, jika kita lihat pengemis di pinggir jalan, panas-panas, pakai pakaian badut menari-nari. Itu kan pekerjaan yang berat sebetulnya," ucap dia melansir laman Unair, Minggu (24/10/2021).

Jika dibandingkan, kata Bagong, pekerjaan di sektor informal bahkan lebih keras dari pada pekerjaan kelas menengah.

Namun, karena ketidakmampuan pendidikan ditambah minimnya akses jaringan memaksa kaum miskin untuk bertahan.

Lanjut dia menyatakan, sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia pada 2019, mengungkap anak-anak dari keluarga miskin, ketika dewasa akan tetap miskin.

Baca juga: 6 Bidang Ilmu Unair Masuk Pemeringkatan THE WUR by Subject 2022

Hal itu, sebut Bagong, menunjukkan mata rantai kemiskinan memang sulit diputus.

"Karena keluarga miskin tidak memiliki modal ekonomi yang cukup dan tidak sekolah dengan baik, ujung-ujungnya dia kembali miskin. Peluang mereka untuk naik kelas tidak bisa ditembus karena tidak punya modal sosial dan ekonomi yang cukup," ucap Pakar Sosiologi Unair ini.

Dekan FISIP Unair itu juga menyampaikan, selain faktor struktural yang tidak ramah, kebijakan pemerintah bersifat meritokrasi. Di mana belum berpihak untuk melindungi si miskin.

Berbeda dengan yang terjadi di Kota Bontang. Pemerintah daerah (Pemda) setempat melarang waralaba seperti Indomaret dan Alfamart masuk.

Hasilnya, usaha-usaha kecil dari masyarakat setempat tumbuh.

"Kebijakan meritokrasi itu intinya orang miskin diberi bantuan, soal bagaimana mereka bertahan hidup menghadapi struktur yang kompetitif terserah pada semangatnya orang miskin," jelas dia..

Dia menegaskan, kemunculan istilah miskin sendiri berkaitan erat dengan stratifikasi (pengelompokkan anggota masyarakat secara vertikal) dan kesadaran kelas.

Baca juga: Skill yang Harus Dikuasai Mahasiswa di Dunia Kerja 5 Tahun Mendatang

"Kemiskinan terjadi ketika orang sadar akan kelasnya. Ini yang membuat isu kemiskinan dikaitkan dengan isu stratifikasi," tukasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com