Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Tinggalkan Feodalisme, Budayakan Sikap Kritis Demi Indonesia Maju

Kompas.com - 04/10/2021, 16:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pernyataan Mochtar Lubis ini adalah rangkuman dari kekhawatiran para founding fathers Indonesia. Itulah kenapa para founding fathers  selalu memprioritaskan pendidikan untuk membangun karakter bangsa yang kokoh, menghancurkan feodalisme, dan kemunafikan hingga menghilangkan kepercayaan takhayul.

Sayangnya, perjuangan membangun karakter bangsa melalui pendidikan nampaknya masih jauh dari harapan dan cita-cita para pendiri bangsa. Hal ini terlihat dari masih merajarelanya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) baik di era Orde Baru hingga saat ini.

Lebih mirisnya lagi, maraknya kasus KKN bukan hanya dipertontonkan oleh pejabat negara, tetapi juga telah merambah ke berbagai institusi pendidikan yang seharusnya menjadi benteng utama mencetak manusia yang berkarakter, jujur, dan berkualitas.

Terkait dengan hal ini, Mahdi menyoroti bahwa feodalisme masih menjadi salah satu sumber masalahnya. Kolonialisme Belanda yang terjadi selama 3,5 abad nyatanya telah mewariskan mental masyarakat yang feodal sekaligus penakut.

Artinya, mereka yang termasuk dalam kelompok elite memiliki sifat feodal terhadap masyarakat kelas bawah yang memiliki sifat penakut. 

Ini bisa dilihat dari masih kuatnya hierarki dan budaya senioritas-junioritas di lingkungan kerja, pendidikan, dan masyarakat.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, watak bangsa di kalangan terdidik yang berorientasi pada kemajuan bersama cukup kuat.

Namun sayangnya, kekuatan itu kian melemah seiring dengan terjadinya penetrasi pragmatisme ekonomi neo-liberal dan cengkraman rezim otoriter OrdeBaru yang represif,

Alhasil, feodalisme yang kuat yang bertemu dengan kelemahan watak merupakan lahan subur bagi KKN.

Membangun budaya berpikir kritis 

Masih adakah harapan untuk membangun karakter bangsa dan memajukan Indonesia ke arah yang lebih baik?

Harapan akan selalu ada. Pendidikan masih menjadi senjata ampuh untuk menciptakan perubahan.

Pendidikan yang dimaksud harus berorientasi pada sikap dan cara berpikir kritis serta bebas dari segala tekanan. Menurut Paulo Freire, pendidikan sejatinya merupakan media pembebasan atau memerdekakan, bukan menjinakkan.

Pendidikan seharusnya dapat membebaskan siswa dari segala hal yang mengekang hidupnya, membebaskan dari belenggu penindasan, dan hal-hal merugikan yang bersumber dari ketidaktahuan.

Berpikir kritis di sini artinya menggunakan nalar, berpikir secara sistematis dan rasional untuk menyelesaikan suatu permasalahan secara objektif dan faktual dan sebisa mungkin menekan bias pendapat (Robert Ennis).

Budaya berpikir kritis secara tidak langsung akan membentuk karakter individu yang bertanggung-jawab dan objektif serta menumbuhkan sensitivitas dan humanisme karena terbiasa mengunakan rasionalitas dalam bertindak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com