Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Implementasi Cyber Leadership Perguruan Tinggi di Tengah Pandemi Covid-19

Kompas.com - 14/08/2021, 13:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Hal ini juga dirasakan oleh Rektor IPB, Prof Arif Satria dimana ia menyebutkan bahwa tantangan utamanya adalah perubahan budaya, dari analog menjadi digital, dari full paper menjadi paperless.

Pendapat dari Rektor IKB LSPR, Dr. Andre Ikhsano melengkapi tantangan yang dihadapi. Secara garis besar, tantangannya meliput aspek pedagogi, aspek ketersediaan teknis-mekanis seperti hardware, software, dan learning management system, membangun kompetensi digital baik itu di kalangan dosen maupun pegawai, dan terakhir membangun budaya kerja digital.

Keempat aspek ini adalah penentu dari apakah perguruan tinggi mampu bertahan, menjadi institusi inovatif dan adaptif terhadap segala perubahan zaman.

Digital Maturity di Perguruan Tinggi

Ke depannya, perguruan tinggi harus mencapai yang disebut digital maturity. Konsepnya adalah bagaimana universitas mampu mengintegrasikan tiga hal ini: menggunakan infrastruktur cloud, akses luas terhadap data, dan mengembangkan alat-alat digital seperti machine learning, advance analytics, dan kecerdasan buatan. Di Amerika Serikat, kondisinya sebenarnya serupa dengan Indonesia.

Dalam survei kolaborasi Boston Consulting Group (BCG) dengan Google tahun 2021 yang menyasar para pemimpin perguruan tinggi AS, hampir semua sepakat bahwa pendidikan perlu untuk mengintegrasikan teknologi ke dalam sektor pendidikan. Tetapi, analisis lebih jauh menemukan bahwa hanya ada satu pertiga dari leaders di bidang pendidikan yang mengintegrasikan datanya ke cloud. Selain itu pula, hanya 25% yang rutin menerapkan analisis data tingkat lanjut.

Selain itu, dari sudut pandang pengajar, tentu transformasi digital memberikan keuntungan dan kerugian. Riset Watermeyer, et.al (2020) yang meneliti bagaimana dampak migrasi digital kepada 1.148 pengajar dari semua level di Inggris menemukan bahwa migrasi digital menyebabkan mereka merasa terkungkung dan lebih sebagai teknisi daripada seorang instruktur, beban kerja yang berlebih, dan ancaman kehilangan pekerjaan, serta tuntutan yang lebih tinggi juga kesulitan membagi waktu personal dan professional. Namun, mereka juga merasakan keuntungannya seperti bisa menyiapkan materi sesuai dengan waktu preferensi dan dapat lebih sering berkomunikasi dengan sesama anggota fakultasnya.

Dari survei dan penelitian di atas, kita bisa melihat bahwa memang masih butuh adaptasi yang lebih lama agar perguruan tinggi bisa mendeklarasikan diri sebagai sebuah institusi digital performer. Jika kita merujuk pada kasus Indonesia, menurut Mendikbud tahun 2019, Muhammad Nasir, hanya 15-20 perguruan tinggi dari 4.741 kampus yang telah menerapkan e-learning.

Apabila menganalisis tantangannya hingga saat ini, tantangan terbesar adalah bagaimana mengurangi gap teknologi yang besar. Gap teknologi yang saya maksud adalah bagaimana meningkatkan kemampuan dan kompetensi yang dimiliki mulai dari aspek teknis maupun non teknis.

Jika gap teknologi ini semakin lama berkurang, maka Perguruan Tinggi di Indonesia bisa menjadi institusi digital mapan yang siap menyongsong zaman. Inilah tugas leaders di perguruan tinggi saat ini.

Transformasi Digital Perguruan Tinggi

Tantangan-tantangan di atas perlu diatasi oleh para cyber leaders agar mereka bisa menyambut perubahan, menjadi kampus yangi inovatif dan inventif, serta mampu menjawab berbagai pertanyaan zaman.

Ruang digital rawan akan serangan siber sehingga para cyber leaders harus mampu mengelola krisis dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan, informasi yang tidak lengkap, dan memiliki rencana jika misalnya terdapat kerusakan.

Cyber leaders harus proaktif, bertindak secara efektif dan efisien serta bertanggung jawab terhadap hal-hal yang mereka rencanakan dan lakukan, dan diatas itu semua, leaders harus bertindak cepat.

Agar ke semua tantangan yang dihadapi bisa dilakukan dan diselesaikan, ada tiga bahan utama yang harus dimiliki agar bisa melakukan transformasi digital secara utuh. Tiga bahan itu adalah pola pikir, kemampuan, dan budaya kerja.

Bicara pola pikir yang menurut saya harus dikembangkan adalah pola pikir kewirausahaahn. Ini juga diungkapkan oleh Wisnu S. Dewobroto (Head of PUCEL, Podomoro University Center of Entrepreneurial Leader & Head of Entrepreneurship Program Universitas Podomoro).

Menurutnya, pola pikir kewirausahaan sangat penting bagi setiap cyber leaders untuk memimpin anggotanya, Dia tidak mengartikan kewirausahaan itu sebagai profesi, melainkan sebuah pola pikir yang berorientasi pada aksi “entrepreneurial thought and action”.

Menjadi pribadi yang walk the talk, peka terhadap lingkungan sekitar, dan mau berbuat sesuatu untuk mengubah lingkungannya serta menjadi solutor bagi masyarakat dengan dampak signifikan dan juga berkelanjutan.

Pola pikir ini penting sekali untuk diterapkan dan dijejalkan oleh para anggota, termasuk kepada murid itu sendiri. Pola pikir kewirausahaan ini mewajibkan setiap orang memiliki etos kerja yang baik, disiplin, dan tidak mudah putus asa.

Ketika pola pikir yang dimiliki sudah tepat, kunci berikutnya adalah mengembangkan budaya kerja. Dr. Andre Ikhsano tepat menyebutkan bahwa insan dikti harus memiliki etos kerja yang kuat serta mampu mandiri. Melakukan kerja tanpa perlu adanya monitoring langsung.

Itu berarti, pemimpin mengandalkan inisiatif dan kesadaran para anggotanya untuk melakukan tugas yang telah diamanahkan olehnya. Untuk mencapai tahap ini memang dibutuhkan supervisi secara berkala. Tetapi, lambat laun, jika pola pikir dan budaya kerja dikembangkan dengan tepat, bukan tidak mungkin, para anggota bisa bekerja secara mandiri.

Selain itu, budaya kerja kolaboratif juga perlu dikembangkan. Berdasarkan riset yang dikeluarkan oleh American Council on Education dan TIAA Institute tahun 2021 tentang respon pimpinan Universitas terhadap Covid-19, mereka mempertimbangkan partnership dengan institusi atau organisasi lain di bidang pelayanan administratif dan program akademik.

Dr. Dadang mengatakan, ini secara gamblang mengatakan bahwa pemimpin perlu memimpin transformasi digital secara adaptif dan kolaboratif supaya integrasi teknologi digunakan secara tepat. Bahkan, dia memberikan pernyataan yang menggelitik bahwa teknologi digital akan lebih berdaya guna jika digunakan oleh smart people dan smart institution.

Prof. Djwantoro menambahkan bahwa tim harus memiliki pemahaman akan budaya kerja institusi yang baik. Selain itu, pemimpin juga harus memahami organizational development dalam konteks digital dengan baik.

Untuk itu, leaders harus melibatkan staf sendiri yang kompeten, tetapi tidak berada di dalam struktur kepemimpinan, sehingga bisa menghasilkan rancangan perubahan yang out-of-the-box.

Dua budaya ini yang telah diterapkan oleh IPB dimana mereka telah mengubah cara kerjanya dengan berteman dengan teknologi, melakukan efisiensi anggaran, mengalokasikan anggaran untuk mengembangkan cara belajar digital yang inovatif seperti berlangganan aplikasi webinar, investasi untuk studio pembelajaran, studio podcast, penyuluhan kepada petani secara online, hingga aktivitas lain seperti seleksi calon mahasiswa baru juga dilakukan secara online.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com