Oleh: Supi C Nadyastuti, Heni Mularsih, dan Sri Tiatri
KOMPAS.com - Tahun ajaran baru pada bulan Juli nanti sudah di depan mata. Angin segar pembelajaran tatap muka mulai "berembus".
Namun, dampak pandemi pada wajah pendidikan Indonesia masih menyisakan beberapa masalah krusial terkait pentingnya kesehatan mental para pelaku pendidikan.
Guru salah satunya, sebagai salah satu faktor penunjang utama kegiatan pembelajaran, "kekagetan budaya kerja" saat pandemi memunculkan berbagai tuntutan baru pemicu stres kerja yang berpotensi mengganggu kualitas kesehatan mental mereka selama melaksanakan tugasnya sebagai guru.
Perubahan metode pembelajaran dari luring ke daring, kita ketahui telah memunculkan berbagai masalah, di antaranya kendala waktu belajar yang tidak menentu dan kebiasaan baru penggunaan teknologi sebagai media belajar (pengelolaan kelas online).
Perubahan itu juga mencakup sistem baru penilaian dan pelaporan hasil belajar siswa, serta tuntutan kerjasama dan komunikasi yang lebih baik dengan orangtua sebagai pendamping anak belajar di rumah (Husna, 2020).
Dalam sebuah survei yang dilakukan di New York, dilaporkan telah muncul banyak bukti menguatkan bahwa selama pandemi Covid-19, telah terjadi tekanan pada guru baik secara pribadi, terkait pekerjaan dan daya tanggap emosional mereka, yang secara tidak langsung memengaruhi proses pembelajaran.
Beberapa guru bahkan mengaku mengalami reaksi emosi kemarahan, agresi, kecemasan, penarikan diri dari interaksi sosial, dan penurunan kompetensi sosial secara keseluruhan (Nagasawa & Tarrant, 2020).
Baca juga: Jelang PTM Terbatas, Guru Perlu Perhatikan Penyusunan Jadwal Kelas
Sebut saja guru X, dirinya merasa kini kondisi emosionalnya cenderung labil, sering mengalami kelelahan fisik, mudah tersinggung, mudah marah tanpa alasan, terkuras energi dan emosi karena tuntutan pekerjaan yang tinggi, serta banyaknya idealisme mengajar yang tidak sesuai dengan realitas di lapangan.
Guru X mengaku sudah tidak memiliki semangat lagi untuk melakukan tugas-tugasnya, mengabaikan perawatan diri dan bahkan dirinya kini enggan untuk sekedar bersosialisasi dengan teman-teman.
Perubahan perilaku ini sesungguhnya sesuai dengan gejala sindrom teacher burnout (TBO) atau burnout pada guru.
Sayangnya, belum banyak guru yang mampu mengenali gejala dan apa dampak yang dapat ditimbulkan oleh sindrom burnout tersebut kepada mereka.
Istilah burnout pertama kali diperkenalkan oleh Christina Maslach tahun 1996 sebagai sebuah sindrom kelelahan emosional (emotional exhaustion), depersonalisasi (depersonalization), dan penurunan prestasi pribadi (reduce of personal accomplishment) yang dapat terjadi pada individu yang bekerja dengan orang lain dalam "kapasitas tertentu" (Maslach et al., 1996, dalam Maslach, 2008).
Mari kita kenali gejala sindrom burnout pada guru, melalui tiga dimensi yang ada sesuai dari pengertian yang diberikan oleh Christina Maslach dan perilaku yang muncul pada guru.
Pertama, gejala burnout yang terkait dengan dimensi emotional exhaustion (EE) (kelelahan emosi) adalah kondisi menipisnya sumber daya kapasitas emosional indvidu.
Perilaku yang muncul pada guru, misalnya, merasa pekerjaannya mengajar menguras emosi, merasa lelah di akhir pembelajaran, atau merasa lelah dan enggan bangun dan bekerja pada hari yang sama.
Bisa juga merasa tertekan saat bertemu orang/siswa dan orangtua, merasa sangat lelah secara fisik, merasa frustrasi, merasa bekerja terlalu keras, merasa tertekan bekerja dengan orang lain, dan merasa berada di ambang batas kesabaran.
Kedua, gejala burnout yang terkait dengan dimensi depersonalization atau depersonalisasi (DP) adalah perilaku memisahkan diri atau usaha menghindar dari tuntutan tugas atau pekerjaan.
Perilaku yang muncul pada guru, misalnya, menarik diri dari interaksi sosial dan menghindar jika dihubungi; menolak bertemu, berkumpul dan berbicara; merasa telah menjadi sosok yang tidak berperasaan; serta merasa acuh/tidak peduli terhadap siswa/tugas.
Ketiga, gejala burnout yang terkait dengan dimensi reduce of personal accomplishment (RPA) (penurunan pencapaian pribadi); yaitu mengacu pada perasaan tidak kompeten dalam melakukan suatu pekerjaan.
Baca juga: Kemendikbud Ristek Buka Pendaftaran Guru Belajar Adaptasi Teknologi
Perilaku yang muncul pada guru, misalnya, merasa sulit memahami perasaan siswa/rekan kerja, kesulitan menangani masalah yang dialami siswa.
Bisa juga tidak merasa memberikan karya yang positif, tidak bersemangat mengerjakan tugas, tidak merasa nyaman saat mengajar, tidak merasa melakukan hal yang bermanfaat, atau selalu gelisah saat mengontrol emosi.
Seperti apa dampak sindrom burnout pada guru?
Dampak yang ditimbulkan dari sindrom burnout sebagaimana telah banyak diilaporkan oleh penelitian sebelumnya adalah:
Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, maka beberapa potensi masalah di kemudian hari bukan tidak mungkin akan mewarnai proses pendidikan di Indonesia.
Kurang optimalnya proses interaksi dan hasil pembelajaran yang dilakukan antara siswa dan guru, berpotensi menurunkan kualitas dan mutu pendidikan secara keseluruhan.
Perlu diwaspadai pula bahwa angka teacher burnout yang tinggi dan berkepanjangan berdampak terganggunya kesehatan mental guru dan anak didik yang dapat berujung pada gangguan mental seperti depresi (Li et al., 2020). Tentu bukan ini potret pendidikan yang kita harapkan untuk Indonesia.
Baca juga: Ini Cerita 2 Guru Hebat Ikut Wardah Inspiring Teacher yang Diasah Terus Kompetensinya
Berikut adalah beberapa strategi yang berhasil penulis himpun dari berbagai sumber, yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan guna mendukung kesehatan mental guru pada masa pandemi Covid-19:
Nah, apakah kita sekarang sudah lebih siap menghadapi tahun ajaran baru?
Ayo, jangan ragu untuk lebih peduli dan mendukung pentingnya kesehatan mental pada guru.
Supi C Nadyastuti
Mahasiswa S2 Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara
Heni Mularsih dan Sri Tiatri
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara