Perilaku yang muncul pada guru, misalnya, merasa pekerjaannya mengajar menguras emosi, merasa lelah di akhir pembelajaran, atau merasa lelah dan enggan bangun dan bekerja pada hari yang sama.
Bisa juga merasa tertekan saat bertemu orang/siswa dan orangtua, merasa sangat lelah secara fisik, merasa frustrasi, merasa bekerja terlalu keras, merasa tertekan bekerja dengan orang lain, dan merasa berada di ambang batas kesabaran.
Kedua, gejala burnout yang terkait dengan dimensi depersonalization atau depersonalisasi (DP) adalah perilaku memisahkan diri atau usaha menghindar dari tuntutan tugas atau pekerjaan.
Perilaku yang muncul pada guru, misalnya, menarik diri dari interaksi sosial dan menghindar jika dihubungi; menolak bertemu, berkumpul dan berbicara; merasa telah menjadi sosok yang tidak berperasaan; serta merasa acuh/tidak peduli terhadap siswa/tugas.
Ketiga, gejala burnout yang terkait dengan dimensi reduce of personal accomplishment (RPA) (penurunan pencapaian pribadi); yaitu mengacu pada perasaan tidak kompeten dalam melakukan suatu pekerjaan.
Baca juga: Kemendikbud Ristek Buka Pendaftaran Guru Belajar Adaptasi Teknologi
Perilaku yang muncul pada guru, misalnya, merasa sulit memahami perasaan siswa/rekan kerja, kesulitan menangani masalah yang dialami siswa.
Bisa juga tidak merasa memberikan karya yang positif, tidak bersemangat mengerjakan tugas, tidak merasa nyaman saat mengajar, tidak merasa melakukan hal yang bermanfaat, atau selalu gelisah saat mengontrol emosi.
Seperti apa dampak sindrom burnout pada guru?
Dampak yang ditimbulkan dari sindrom burnout sebagaimana telah banyak diilaporkan oleh penelitian sebelumnya adalah:
Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, maka beberapa potensi masalah di kemudian hari bukan tidak mungkin akan mewarnai proses pendidikan di Indonesia.
Kurang optimalnya proses interaksi dan hasil pembelajaran yang dilakukan antara siswa dan guru, berpotensi menurunkan kualitas dan mutu pendidikan secara keseluruhan.
Perlu diwaspadai pula bahwa angka teacher burnout yang tinggi dan berkepanjangan berdampak terganggunya kesehatan mental guru dan anak didik yang dapat berujung pada gangguan mental seperti depresi (Li et al., 2020). Tentu bukan ini potret pendidikan yang kita harapkan untuk Indonesia.
Baca juga: Ini Cerita 2 Guru Hebat Ikut Wardah Inspiring Teacher yang Diasah Terus Kompetensinya
Berikut adalah beberapa strategi yang berhasil penulis himpun dari berbagai sumber, yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan guna mendukung kesehatan mental guru pada masa pandemi Covid-19:
Nah, apakah kita sekarang sudah lebih siap menghadapi tahun ajaran baru?
Ayo, jangan ragu untuk lebih peduli dan mendukung pentingnya kesehatan mental pada guru.
Supi C Nadyastuti
Mahasiswa S2 Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara
Heni Mularsih dan Sri Tiatri
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara