Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

“Cerita Indonesia: Sapardi Djoko Damono”, Belajar dari TVRI

Kompas.com - 06/06/2020, 23:35 WIB
Irfan Kamil,
Yohanes Enggar Harususilo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Program Belajar dari Rumah di TVRI hadir kembali dengan tayangan “Cerita Indonesia: Sapardi Djoko Damono”, pada 6 Juni 2020.

Belajar dari Rumah adalah program Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan ( Kemendikbud) memberikan alternatif pendidikan bagi semua kalangan di masa darurat Covid-19.

Berikut adalah “Cerita Indonesia: Sapardi Djoko Damono” yang tayang pada pukul 08.30 -09.00 WIB pada Sabtu 6 Juni 2020.

Dalam tayangan tersebut Sapardi Djoko Darmono atau di kenal SDD merupakan pujangga puisi terkemuka di Indonesia bercerita tentang perjalanan hidupnya.

“Saya itu kan sontoloyo ya artinya kalau sekarang dirty old man. Memang kalau saya lihat naskah-naskah saya yang lama. Saya kan masih menyimpan naskah-naskah yang saya tulis sejak tahun 57 semua,” kata Sapardi.

“Tidak tahu kenapa kok bisa terkumpul, di situlah saya mengenal 'oh ini ketika saya mengucapkan kepada si anu, ini kepada si anu' seperti misalnya sama si Sonya itu ya,” ucap Sapardi.

Ia melanjutkan, “saya zaman pacaran sama dia, dia pergi ke Perancis, nah saya kan kesepian. Saya nulis sajak yang sekarang dinyanyikan orang semua, saya pikir ternyata sunyi itu minuman keras ya, jadi kita bisa mabuk tapi kita bisa kreatif” Ujarnya.

Sementara Sonya Sondakh mengatakan, "saya waktu itu dapat beasiswa pergi cuma beberapa bulan terus dikirimi puisi, oh ya senang.”

Sementar seniman Reda Gaudiamo mengatakan,”sebelum terlibat dalam proyek musikalisasi puisi tahun 1987 saya adalah orang yang menjauhi puisi. Buat saya puisi adalah bentuk tulisan yang perlu energi dan waktu dan rasa ekstra untuk memahami dan saya merasa saya tidak punya kesabaran atau waktu untuk melakukan itu."

Ia melanjutkan “Nah tahun 1987 tiba-tiba Ags Arya Dipayana datang 'bantuin dong! Ini ada musikalisasi puisi'." Saya bilang, "oh tidak tidak, kamu datang ke orang yang salah".

"Kan lu tau gue mau puisi, nggak. Udah cari orang lain," kata Reda pada Ags.

"Ini lagu, ini bukan baca puisi, ini menyanyikan, lo nyanyi" kata Ags. Saya cuma bilang bener ya nyanyi doang, terus nyanyi lah selagu.

Karena lagunya itu pindah chord beberapa kali kan terus banyak pakai chord miring. "Nih kan puisi-puisi juga begini nih," kata Reda.

Puisi itu dihayati

Menurut Supardi, “Puisi itu tidak usah diartikan, puisi itu dihayati memang tidak pernah bagi saya understanding untuk puisi itu gombal itu yang perlu penghayatan.”

Sementara penyair Indonesia Joko Punirbo mengatakan, “saya merasakan bahwa karya-karya Pak Sapardi ditulis dengan bahasa yang sederhana, hangat, menyentuh dan mendekatkan kita dengan pengalaman sehari-hari.”

“Karya-karya Pak Sapardi yang menurut saya merupakan pencapaian terbaik beliau sebetulnya buku mata pisau, gabungan dua buku puisi mata pisau dan akuarium."

"Di dalam buku inilah kita menemukan puisi-puisi Pak Sapardi yang sudah berbeda coraknya yang sudah naratif,” ucap Joko.

Ia melanjutkan “kalau buku yang “dukamu abadi” itu masih liris lah itu, lalu ada buku “Perahu Kertas” coraknya masih melanjutkan mata pisau dan akuarium” kata Joko.

“Tentu yang paling di kenal publik itu “hujan bulan juni” ini seleksi terhadap puisi-puisi Pak Sapardi yang sudah dimuat didalam buku-buku beliau sebelumnya di tambah puisi-puisi yang belum dibukukan, puisi ini yang paling di hafal banyak orang” Ucap Joko.

“lalu ada puisinya "aku ingin" yang dinyanyikan Ari Reda dan menjadi sangat popular itu, ini baru sebagian kecil buku karena Pak Sapardi kan juga menerbitakan buku-buku sendiri” Kata Joko.

Joko Punirbo mengatakan, “Pak Sapardi adalah penyair yang produktif yang sepanjang hayat itu selalu memikirkan puisi dan selalu bereksporasi mengolah kata sehingga kata-katanya selalu segar”

“Saya kira ini contoh bagi pengarang yang lain bagaimana utuk tetap memelihara semangat kreatif,” Uuarnya.

Novel berbeda

Sapardi mengatakan, “saya kan udah menulis 7 novel, itu setiap novel berbeda, saya tidak mau berbuat sesuatu yang sudah pernah saya kerjakan sebelumnya.”

“Itulah yang membuat saya tersiksa sebenarnya, saya harus menunjukan sesuatu yang belum pernah saya lakukan,” ucap Sapardi.

Menurut seorang penulis, Gunawan Maryanto, “Pak Sapardi seperti tadi bilang tidak pengen mengulang capaian-capaiannya gitu pengen kemudian menemukan yang baru."

"Aku pikir itu juga satu semangat yang penting dan juga dimiliki oleh banyak penulis yang lain,” ujarnya.

“Misalnya kemudian orang bertanya-tanya sehabis "Hujan Bulan Juni" nanti mau bikin apa sih, terus saja, nunggu-nunggu, setelah "Perahu Kertas" apalagi sih,” ucapnya.

Ia melanjutkan “terus ditunggu gitu dia akan menemukan apalagi, dan cukup lama aku fikir kadang berhasil kadang engga ya Pak Sapardi melampaui ciptaan-ciptaanya sendiri,” ujar Gunawan.

“Tapi terasa banget bagaimana kemudian Pak Sapardi tidak berdiam disana gitu, dia terus-menerus gelisah bahkan secara tema tiba-tiba muncul kumpulan puisi "Arloji" ya yang ngomong soal buruh,” ujar Gunawan.

Ngomongin Marsinah, mulai masuk ke tema-tema sosial politik yang selama sebelum-sebelumnya itu jarang di sentuh dalam puisi Pak Sapardi,” ucap Gunawan.

“Tiba-tiba disana dia punya kegelisahan, di situ ke gregetan dengan itu kemudian masih dengan gaya yang banyak dikenali oleh para pembacanya, Pak Sapardi memasuki tema-tema yang cukup beragam,” kata Gunawan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com