Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heryadi Silvianto
Dosen FIKOM UMN

Pengajar di FIKOM Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dan praktisi kehumasan.

Perlunya "Socmed Distancing" di Tengah Pandemi Covid-19

Kompas.com - 30/04/2020, 14:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Selaras dengan itu, menerapkan etika utilitarisme, dimana penulis berita meski ingin memenuhi kepentingan jumlah pembaca artikelnya, namun menyebarkan berita hoaks di grup jejaring sosial seperti percakapan di WA, pastinya menimbulkan misinformasi yang besar.

Socmed distancing

Di masa Covid-19, publik perlu secara mandiri harus melakukan socmed distancing, yakni menjaga jarak dan membatasi interaksi dengan informasi buruk di media sosial.

Mengingat saat ini media online dan media sosial menjadi kian penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Digital divide makin menyempit, media online serta media sosial dalam memproduksi hingga mendistribusikan disinformasi, hoaks, dan manipulasi informasi terbukti kian dan akan terus merebak.

Karenanya, dibutuhkan literasi digital dan sikap kritis untuk menangkalnya, sebelum secara ‘gegabah’ menyerahkan otoritas melakukan penegakan hukum.

Kita harus menjaga jarak dari berbagai macam informasi bohong seperti fake news, bentuk berita yang bertujuan untuk memalsukan atau memasukkan ketidakbenaran dalam suatu berita. Penulis hoaks biasanya menambahkan hal-hal yang tidak benar dan teori persengkokolan.

Clickbait. Tautan jebakan dengan tujuan untuk menarik orang masuk ke situsnya.

Konten di dalam tautan ini sesuai fakta namun judulnya dibuat berlebihan atau dipasang gambar yang menarik untuk memancing pembaca.

Confirmation bias, kesalahan dalam cara berpikir yang bikin kita salah dalam mengambil kesimpulan terhadap sebuah pesan. Seperti menilai bawah Covid-19 sebagai sebuah teori konspirasi ansich dan panduan kesehatan yang tidak tepat.

Misinformation, informasi yang salah atau tidak akurat terutama yang ditujukan untuk menipu.

Seperti menganggap remeh bahwa Covid-19 tidak berbahaya, tentu berbahaya jika mendominasi benak publik.

Satire, sebuah tulisan yang menggunakan humor, ironi, hal yang dibesar-besarkan untuk mengomentari kejadian yang sedang hangat. Semisal terkait polemik mudik vs pulang kampung, banyak yang menjadikan ini sebagai guyonan.

Post-truth, kejadian di mana emosi lebih berperan daripada fakta untuk membentuk opini publik.

Cukup banyak postingan seperti ini, di antaranya mobil ambulans yang menjemput pasien dan petugas lengkap menggunakan Alat Pelindung Diri (APD), lengkap dinarasikan dengan penuh prasangka.

Propaganda, aktivitas menyebarluaskan informasi, fakta, argumen, gosip, setengah-kebenaran, atau bahkan kebohongan untuk memengaruhi opini publik.

Pemerintah, otoritas kesehatan masyarakat, masyaratak terdidik, dan perusahaan digital tidak hanya perlu mempromosikan literasi digital, tetapi juga memerangi cara-cara di mana dampak dari media sosial mungkin melahirkan era pasca-kebenaran (post truth) yang tidak dapat diubah.

Bahkan setelah pandemi COVID-19 menghilang. Tentu sesuatu yang tidak kita inginkan….

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com