Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

"Vaccine Workshop I-4", Menkes: Ilmuwan Diaspora Diajak Bangun Kolaborasi

KOMPAS.com - Ikatan Ilmuan Indonesia International (I-4) melalui Klaster Kedokteran, Kesehatan dan Teknologi Biomedis bersama Ikatan Farmakologi Indonesia (Ikafi) menggelar vaccine workshop secara daring pada Sabtu, 8 April 2023.

Workshop dihadiri 900 peserta dari berbagai belahan dunia di antaranya Thailand, Malaysia, Taiwan, Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Finlandia, Jepang, Australia, dan Uni Emirat Arab, dari kalangan akademisi, industri, dan perwakilan pemerintah.

Lokakarya bertujuan untuk berbagi pengetahuan and keahlian dari para peneliti vaksin di dalam dan di luar negeri kepada para peneliti lainnya di Indonesia.

Kepada Kompas.com, Ketua Umum I-4, Sastia Putri menyampaikan, pandemik Covid-19 telah menunjukan pentingnya riset dan pengembangan vaksin sebagai bagian dari ketahanan negara dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi wabah dari penyakit menular.

"I-4 memiliki peran yang sangat strategis dalam menjembatani kolaborasi antara ilmuwan diaspora dan ilmuwan di Indonesia," ungkap Sastia.

Dalam awal pemaparan, Menteri Kesehatan Indonesia, Budi Gunadi Sadikin menekankan perlunya diaspora ilmuwan indonesia untuk membangun komunikasi, berjejaring dan berkolaborasi dengan para global expert, khususnya di bidang kesehatan.

"Diaspora Ilmuwan Indonesia diharapkan dapat meningkatkan kapabillitasnya di luar negeri hingga mencapai tingkatan yang matang sebelum pulang dan berbakti membangun tanah air Indonesia," ungkap Budi Gunadi,

Menkes juga menyampaikan pihaknya melalui beasiswa LPDP berupaya meningkatkan kapabilitas SDM bidang kedokteran dan teknologi biomedis bagi mahasiswa yang melanjutkan studi di top 20 perguruan tinggi di seluruh dunia.

Budi Gunadi juga memberikan apresiasi atas terselenggaranya kegiatan vaccine workshop I-4 ini dan berharap acara sejenis dapat berjalan rutin dengan melibatkan Kemenkes RI.

Riset dan pengembangan vaksin

I-4 Lecture Vaccine Workshop dibagi menjadi 4 sesi. Sesi pertama pengenalan vaksin dan adjuvant dibawakan Indra Rudiansyah (Oxon) dari PT. Bio Farma dan Ines Atmosukarto, Koordinator Kluster Kimia, Biologi dan Farmasi yang juga merupakan CEO dari Lipotek Pty Ltd, Australia.

Indra menyatakan, riset dan pengembangan vaksin terdiri dari dua aspek utama yakni proof of concept yang meliputi antigen discovery, preclinical dan clinical study; dan process development meliputi lab, pilot dan manufacturing scale dari proses produksi.

Sementara Ines menyampaikan, adjuvant merupakan komponen penting dalam pengembangan vaksin. Adjuvant merupakan senyawa yang dapat meningkatkan aktivitas vaksin dalam menginduksi system kekebalan tubuh.

Saat ini hanya sedikit sekali adjuvant yang telah mendapatkan izin untuk digunakan didalam komponen vaksin untuk manusia. Tidak jarang, supply adjuvant ini menjadi “bottleneck” dalam pengembangan vaksin.

Ines menyampaikan mimpinya untuk membuat rekam jejak dari berbagai macam adjuvant sehingga dapat memformulasikan adjuvant yang memiliki aktivitas tinggi namun dengan efek samping yang ringan.

Sesi kedua dibawakan Jarir At Thobari dari Universitas Gadjah Mada dan Juliati dari Direktorat Standardisasi Obat, BPOM.

Di sesi kedua ini Jarir menyampaikan bagaimana proses clinical development dilakukan untuk melihat profil keamanan, immunogenisitas, dan efektifitas dari suatu vaksin baru sebelum mendapatkan izin edar dari Badan POM.

Setelah melalui tahapan uji preklinis, vaksin diujikan di uji klinis fase I dengan melibatkan sedikit volunteer untuk melihat keamanan dari vaksin tersebut. Diuji klinis fase kedua, vaksin diujikan di populasi yang menjadi target utama dari vaksin tersebut.

Sebagai contoh vaksin rotavirus diujikan di anak-anak yang menjadi target untuk vaksin tersebut. Diuji klinis fase ke-3 efikasi dari vaksin diuji dengan melibatkan jumlah voluntir yang besar.

Jarir juga menyampaikan sulitnya mencari voluntir untuk studi vaksin di Indonesia. Diharapkan dengan adanya pendanaan dan sumber daya manusia yang mencukupi, multi-center dan digitalisasi uji klinis dapat menjadi jawaban dari tantangan tersebut.

Penguasaan teknologi dan keahlian

Di sisi lain, Juliati menyatakan pentingnya riset dan pengembangan vaksin untuk mengikuti regulasi yang ada dari Badan POM. Badan POM sendiri saat ini mendapat predikat tingkat kematangan di level 3 dari 4 level yang terapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Dirinya menyampaikan vaksin merupakan produk farmasi yang diregulasi secara ketat untuk dapat menjamin keamanan dan mutu.

Selanjutnya, sesi ketiga membahas terkait aspek penting yakni translational research dari pengembangan vaksin di academia menuju pengembangan vaksin di Industri.

Neni Nurainy dari PT. Bio Farma menyampaikan, saat ini industri vaksin lebih menyukai kandidat vaksin yang setidaknya telah mencapai tahapan proof of concept di uji preklinis. 

Dengan demikian, universitas atau pusat penelitian memiliki peranan penting sebagai kolaborator untuk melakukan tahapan konsepsi dan antigen discovery.

Dalam proses translasi riset vaksin ini, terdapat tantangan yang dikenal sebagai “the valley of death” di mana banyak sekali kandidat vaksin yang gagal untuk ditranslasikan ke Industri akibat kekurangan sumber daya dan expertise.

Untuk menghindari hal tersebut, penguasaan teknologi dan expertise diperlukan, selain itu innovator juga harus dapat mengamankan funding dan partner, mereduksi cost dan proyeksi market sejak awal.

Di kesempatan sama Carina Joe, senior scientist dari University of Oxford menjelaskan proses development dari pengembangan vaksin yang meliputi pembuatan drug substance melalui tahapan upstream dan downstream serta pembuatan drug product yang meliputi proses formulasi dan fill and finished.

Joe juga menceritakan pengalamannya terkait process development dari Oxford/Astrazeneca Covid-19 vaccine yang dapat menjadi jawaban dari “100 days of mission” dilontarkan oleh Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI) sebagai upaya menyiapkan diri menghadapi the next pandemic against “disease X”.

Faktor lain yang juga penting dalam riset vaksin adalah pengembangan uji untuk dapat mengevaluasi performa dari vaksin. Dalam kesempatan yang sama Marco Polo Peralta MD, dari University of Oxford menjelaskan bagaimana suatu uji dikembangkan dan divalidasi.

Sesi terakhir dibawakan Novalia Pishesa dari Harvard Medical School yang juga merupakan Co-founder dari Cerberus Therapeutic, Doddy I.S. Utomo dari BRIN, dan Ekaputra Ramadhani dari Osaka University.

Sesi ini ketiganya membawakan hasil dari riset dan inovasinya masing-masing dalam pengembangan vaksin. Pishesa memanfaatkan nanobody sebagai vehicle untuk targeted vaccine sehingga dapat meningkatkan respon imun selular dan humoral.

Sementara itu, Utomo memanfaatkan silkworm sebagai media produksi vaksin yang affordable. Di sisi lain Ekaputra melakukan studi untuk dapat memproduksi Adeno Associate Virus sebagai viral vector untuk vaccine terapi.

Sebagai bentuk respon positif arahan Menkes dalam acara workshop, I-4 membentuk media komunikasi diaspora Indonesia dari berbagai belahan dunia yang merupakan global experts bidang terkait kesehatan yakni kedokteran, public health, teknologi biomedis, biologi, kimia dan farmasi.

"Wadah komunikasi ini diharapkan dapat mendorong percepatan kolaborasi antar peneliti Indonesia dan Kemenkes serta stakeholders terkait dalam beberapa aspek, antara lain pengembangan kapasitas SDM Indonesia untuk membentuk talenta unggul di bidang kesehatan," ungkap Sastia.

"Ilmuwan diaspora yang saat ini bekerja di berbagai universitas ternama di luar negeri dapat berperan sebagai host professor, mitra kolaborasi riset dan memfasilitasi transfer teknologi ke Tanah Air," tutup Ketua Umum I-4.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/04/11/105158371/vaccine-workshop-i-4-menkes-ilmuwan-diaspora-diajak-bangun-kolaborasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke