Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mencermati Beban Kerja dan Kewajiban Khusus Dosen

Memuat rincian tugas dan kewajiban profesional dosen yang harus ditunaikan setiap semester. Meliputi kegiatan pendidikan dan pengajaran, penelitian, pengabdian, dan penunjang.

Setiap jenjang jabatan memiliki rincian BKD yang berbeda dengan besaran kredit antara 12—16 SKS persemester.

BKD yang wajib bagi setiap dosen pada semua jenjang jabfung adalah buku ajar/buku teks; artikel jurnal (nasional/terakreditasi, internasional/bereputasi), dan/atau paten/karya seni monumental/desain monumental.

Khusus penjabat jabfung Lektor Kepala dan Profesor, selain harus memenuhi BKD, juga KKD dalam tiga tahun sejak jabatan fungsional tersebut diperoleh.

Bagi dosen yang “Tidak Memenuhi” (TM) BKD dan/atau KKD akan diberikan sanksi disertai pembinaan oleh pimpinan perguruan tinggi berupa penghentian sementara tunjangan profesi dosen dan/atau tunjangan kehormatan.

Tunjangan tersebut akan dibayarkan kembali setelah dosen memenuhi kewajiban khususnya, dengan status “Memenuhi” (M). Sanksi ini berlaku mulai efektif tahun 2023 ini (Ditjendiktiristek, 2022).

Pada portal PDDIKTI (2023) dosen di lingkungan Kemdikbudristek seluruhnya berjumlah 305.359 orang yang berafiliasi di 4.529 perguruan tinggi.

Dari jumlah tersebut, baru 257.656 (84,38 persen) dosen yang terdaftar di https://sinta.kemdikbud.go.id/ dan 47,703 (15,62 persen) dosen belum mendaftar dan memiliki akun SINTA.

Berdasarkan jenjang jabfungnya, mereka terdiri dari 206 tenaga pengajar (0,08 persen); 71.980 asisten ahli (27,92 persen); 78.405 Lektor (30,42 persen); 30.317 Lektor Kepala (11,76 persen); 7.168 Profesor (2,78 persen); dan 69.707 (27,04 persen) dosen yang tidak diketahui jabfungnya.

Secara kuantitatif, jumlah artikel yang dipublikasikan di jurnal nasional selama 10 tahun terakhir (2010—2022) mengalami kenaikan secara signifikan. Terutama sejak tahun 2014 yang merupakan awal pemberlakuan kewajiban publikasi ilmiah pada jurnal nasional terakreditasi dan/atau internasional berputasi.

Tahun 2014 total publikasi nasional mencapai 110.902 artikel, dan 55.743 (50.26 persen) di antaranya terakreditasi oleh Kemdikbud.

Sejak itu pula jumlah artikel jurnal nasional mengalami peningkatan yang sangat tinggi, dan tahun 2022 mencapai 365.555 artikel atau naik 330 persen.

Demikian pula artikel jurnal nasional yang terakreditasi pada tahun 2022 mencapai 170.173 (46,55 persen) artikel atau naik 305 persen dibandingkan 2014 (55.743 artikel).

Jumlah artikel yang dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi juga mengalami kenaikan yang signifikan sejak tahun 2016, dari 12.706 artikel menjadi 49.350 artikel atau naik 388 persen dalam kurun waktu enam tahun dengan rata-rata peningkatan sebesar 64 persen per tahun.

Dibandingkan publikasi dalam bentuk artikel jurnal, jumlah publikasi dalam bentuk buku tidak terlalu banyak peningkatannya. Total jumlah publikasi buku oleh dosen tahun 2023 baru mencapai 132.017 judul.

Demikian pula dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) seperti Merek, Paten, Hak Cipta, Desain Industri, Indikasi Geografis, Rahasis Dagang, dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST). Jumlah yang terdata di portal SINTA baru 158.462 HKI.

Bisa jadi, jumlah faktual publikasi buku lebih banyak dari yang terdaftar di SINTA, karena semuanya tergantung pada proaktif dosen untuk mendokumentasikannya di berbagai portal yang ada, seperti Google Scholar, SISTER, SINTA, dll.

Dalam kaitan ini, komitmen pengembang SINTA untuk melakukan interoperabilitas secara fondasional, struktural, dan semantik dengan berbagai portal seperti Garuda, Arjuna, Bima/Simlitabmas, PDDIKTI, Sister, Rama, DJKI, Perpusnas, Scopus, dan Web of Science (WoS), perlu diapresiasi tinggi.

Interoperabilitas telah memungkinkan portal SINTA bisa melakukan interaksi dan sinkronisasi data dan informasi dengan sejumlah portal penyedia basis data (big data) penelitian dan publikasi ilmiah nasional.

Hal ini sangat penting, agar semua produk keilmuan dan kepakaran dosen Indonesia terdokumentasi di dalam sebuah sistem informasi yang terintegrasi dan terverifikasi.

Bahkan, portal SINTA sekaligus menampilkan 3 (tiga) jenis h-indeks, yaitu h-indeks dari Scopus, WoS, dan Google Scholar. Kombinasi ketiga jenis h-indeks tersebut, memungkinkan SINTA dapat menampilkan profil dosen/peneliti dan institusinya secara utuh dan lengkap.

Tanpa adanya preferensi kepada lembaga pengindeks tertentu, yang bisa saja dianggap mengabaikan aspek-aspek dari kinerja yang secara nyata merupakan bagian dari kinerja yang bersangkutan (personal/institusional).

Namun demikian, jika membandingkan antara jumlah dosen dan jabfungnya dengan jumlah publikasi atau produk purwarupa yang dihasilkan, masih belum sebanding.

Artinya, setiap dosen berdasarkan jabfungnya belum seluruhnya memenuhi BKD dan/atau KKD yang menjadi tugas dan kewajiban profesionalnya dalam setiap semester. Terutama pada publikasi dalam bentuk buku dan/atau HKI.

Sedangkan produk keilmuan seperti karya seni monumental/desain monumental belum bisa diketahui, karena tidak tersedia portal yang mendokumentasikannya.

Secara kuantitatif, jumlah publikasi artikel di jurnal internasional bereputasi juga sangat tinggi, yaitu 49.350 artikel (2021) dengan rerata 36.221 artikel per tahun.

Jumlah publikasi artikel tersebut memang lebih banyak dari jumlah dosen yang wajib memenuhi KKD, yaitu 37.485 orang (Lektor Kepala dan Profesor).

Namun jumlah tersebut tentu tidak semuanya adalah publikasi untuk memenuhi KKD yang dihasilkan “pasca” menduduki jabfung. Di antaranya, adalah juga publikasi untuk pengajuan jabfung Lektor Kepala atau Profesor.

Jika demikian adanya, menambahkan analisis Prof. Mikra (Facebook, 12/07/2022), setidaknya ada 6 (enam) faktor yang diprediksi dapat memengaruhi kinerja dosen dalam memenuhi BKD dan/atau KKD.

Pertama, dana riset kecil, yaitu hanya 0,3 persen—0,9 persen terhadap GDP. Jika GDP Indonesia sebesar Rp 1.186.092,99 miliar (akhir tahun 2021) (Worldbank, 2021), maka besaran dana riset adalah Rp 3.558 — 10.674 miliar.

Jumlah ini tentu sangat sedikit, apalagi yang membutuhkan dana penelitian bukan hanya dosen, tetapi juga para peneliti, mahasiswa, dan pihak-pihak lain yang membutuhkannya.

Kedua, tidak semua PT memiliki sistem pemberian dana pengganti (reimburse), insentif atau reward khusus terhadap dosen yang berhasil mempublikasikan buku ajar/buku teks; artikel jurnal (nasional/terakreditasi, internasional/bereputasi), dan/atau menghasilkan produk purwarupa yang dipatenkan atau karya seni monumental/desain monumental, yang dapat mengharumkan institusinya, serta agar memacu dosen untuk terus berprestasi.

Tidak ada perbedaan perlakuan antara dosen yang “mengharumkan” nama institusi dan dosen yang “menikmati” keharuman tersebut.

Pada akhirnya, dosen yang persentasenya kecil tersebut akan sampai pada titik jenuh dalam berkarya. Apalagi pada PT yang tidak memiliki dana lebih untuk itu, dan/atau PT yang kurang sehat dalam pengelolaan dana.

Ketiga, tata kelola perguruan tinggi (university governance) yang ‘umumnya’ masih menggunakan “model tradisional” dalam konsep “Equalizer Governance” (De Boer & Enders, 2008).

Sebuah model “governance top-down”, di mana tata kelola perguruan tinggi masih didominasi oleh otoritas negara dan oligarki akademik, dibandingkan oleh internal perguruan tinggi, dan pemangku kepentingan lainnya.

Hal ini menyebabkan peran internal perguruan tinggi berada pada posisi marjinal, di mana otonomi akademik dan non-akademik masih belum penuh, sementara regulasi pemerintah kuat.

Keempat, beban kerja dosen tidak hanya memenuhi BKD atau KKD. Sebagian dari mereka ada yang juga diamanahi tugas untuk memegang jabatan pimpinan/manajerial pada PT sebagai tugas tambahan.

Diperkirakan dosen yang memiliki tugas tambahan hanya memiliki alokasi waktu 30 persen waktu akademiknya untuk memenuhi BKD dan/atau KKD-nya.

Karenanya, Ditjendikti membebaskan mereka dari kewajiban BKD (boleh kosong), kecuali untuk bidang pengajaran mereka tetap harus memenuhinya minimal 3 SKS.

Khusus dosen dengan jabfung Lektor Kepala dan Profesor, sekalipun mendapatkan tugas tambahan, mereka tetap dituntut dan harus memenuhi KKD sebagaimana ditetapkan pada Keputusan Ditjendikti-Kemdikbud 12/E/KPT/2021.

Kelima, akademisi Indonesia terlalu santai, ditandai penurunan produktivitas pascaseorang dosen meraih Lektor Kepala atau Profesor. Hal ini pernah diungkap oleh mantan Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti (SSID) Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti.

Dia menuturkan bahwa pada tahun 2018 sebanyak 2.748 (50,30 persen) orang dari total 5.463 Profesor belum memenuhi KKD yang ditentukan pada Permenristekdikti Nomor 20/2017 (Pikiran-rakyat.com, 31/01/2018). Fenomena ini bisa dan mungkin juga terjadi pada dosen pada jabfung Asisten Ahli, Lektor, dan Lektor Kepala.

Keenam, budaya menulis ilmiah yang masih “rendah”. Dampaknya, 70 persen dari total 5.463 profesor memilih untuk menghabiskan waktu akademiknya dengan mengajar dan menjadi pembicara dalam sebuah seminar (Kemdagri, 2018).

Atau menurut Prof. Sutawi, mereka adalah kelompok “dosen selebritis”, yaitu dosen yang pandai menganalisis fakta dan mengolah kata-kata, serta sering tampil di berbagai media diskusi, debat publik, seminar, talk show, dan sejenisnya (Kompas.com, 06/08/2022).

Setiap dosen memiliki kemampuan, kendala, dan keterbatasannya masing-masing. Karenanya, tidak bisa dipastikan faktor mana dari keenam faktor tersebut yang paling dominan atau menjadi prima causa.

Yang pasti setiap dosen memiliki konfigurasi faktorial yang berbeda dan unik dalam memengaruhi kinerjanya dalam memenuhi BKD dan/atau KKD.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/02/01/080000771/mencermati-beban-kerja-dan-kewajiban-khusus-dosen

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke