Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tidak Tepat Melarang Siswa Pakai Gawai di Sekolah dan Rumah

Memang tidak bermakna Pandemi Covid-19 telah berakhir, tetapi memberi euforia bahwa kehidupan akan kembali normal. Termasuk pada dunia pendidikan, kegiatan tatap muka di berbagai kelas dan sekolah akan kembali seperti sebelumnya.

Pada saat pandemi, banyak siswa dan guru aktif menggunakan gawai (gadget) untuk mendukung pembelajaran.

Penulis melihat ada gejala di mana berbagai sekolah mulai melarang siswa menggunakan gawai dengan alasan klasik sebelum pandemi, bahwa benda-benda tersebut dapat mengganggu proses pembelajaran.

Beberapa observasi juga menunjukkan bahwa dengan dilaksanakannya pembelajaran tatap muka saat ini, yang terjadi adalah siswa dilarang, atau setidaknya dibatasi menggunakan gawai.

Bahkan pada beberapa sekolah tertentu, seperti pada sejumlah video yang sempat viral, ada oknum guru yang sengaja merusak gawai (smartphone) siswa karena benda tersebut dibawa dan digunakan di sekolah.

Memang ada sejumlah pro dan kontra terkait penggunaan gawai di sekolah oleh siswa. Namun membawa lingkungan kembali pada kondisi dahulu sebelum pandemi, di mana siswa berjarak dengan gawai, dan berbagai bentuk teknologi lainnya di sekolah tampaknya adalah kemunduran karena lingkungan ekosistem kehidupan digital memang telah berubah.

Penggunaan gawai di sekolah seharusnya merupakan bagian dari upaya digitalisasi dan pemerataan pendidikan (Kompas, 12 Agustus 2022).

Namun tampaknya hal tersebut sulit terwujud jika hanya para guru, dan bukan siswa yang jumlahnya lebih banyak dari guru di sekolah, yang menggunakan gawai.

Gawai sebagai perangkat elektronik kecil dengan fungsi khusus tertentu banyak membantu mengatasi keterbatasan alami penggunanya.

Penulis pernah menjadi narasumber acara webinar tentang pembelajaran jarak jauh dengan peserta adalah para guru dan pengurus pondok pesantren.

Salah satu pertanyaan peserta ketika itu adalah bagaimana menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh, karena siswa di pondok pesantren tersebut dilarang menggunakan handphone, internet, dan teknologi lainnya.

Pondok pesantren tersebut, setelah ditelusuri berlokasi di Pulau Jawa, yang secara infrastruktur dan fasilitas mestinya lokasinya memadai untuk menggunakan listrik, internet, dan perangkat teknologi.

Dapat terbayang bahwa para siswa setelah lulus nanti mungkin akan kuat dalam hafalan, tetapi berpotensi terjadi perbenturan budaya (crash of culture) setelah mereka kembali ke masyarakat dengan dinamika kehidupan, termasuk teknologi yang terus berkembang.

Pada akhir sesi tanya jawab, ada klarifikasi dari pimpinan pusatnya bahwa sudah ada perubahan kebijakan dengan diperbolehkannya penggunaan gawai di pondok pesantren.

Pada kondisi gawai sudah menjadi perangkat yang esensial dalam kehidupan, dan tampaknya perkembangan kehidupan memang mengarah pada kondisi tersebut dengan cepat, maka tentunya para siswa saat ini yang merupakan bagian dari pelaku kehidupan pada masa yang akan datang, harus terbiasa serta secara efektif dan efisien mengoptimalkan penggunaannya.

Tanpa pembiasaan, bahkan adanya larangan atau keterbatasan bagi siswa dalam penggunaan keduanya berpotensi membentuk mereka menjadi gagap teknologi (gaptek) dan mungkin sulit beradaptasi.

Ada banyak argumen dan dugaan mengapa gawai dilarang atau dibatasi menjadi bagian kehidupan siswa, mulai dari alasan keselamatan dan kesehatan siswa, hingga pembentukan karakter yang katanya sulit tercapai bila gawai berpengaruh dalam kehidupan siswa.

Keselamatan dan kesehatan pengguna adalah tantangan bagi industri, yang tentunya terus menerus berusaha menghadirkan berbagai teknologi dan perangkat baru yang lebih aman dan nyaman bagi pengguna.

Misalkan layar perangkat yang lebih aman dan nyaman di mata, gelombang frekuensi yang lebih aman walaupun sering berinteraksi langsung, dan berbagai inovasi baru lainnya.

Sementara itu karakter sebenarnya adalah pembiasaan dan kesadaran berlandaskan pengetahuan dan sikap serta ditunjang oleh kemampuan manajemen diri dari individu-individu tersebut, dan hal ini dapat dikelola oleh guru serta lingkungan sekolah.

Oleh karena itu, pengaruh dari keberadaan gawai adalah salah satu aspek yang harus dikelola dengan baik, dan bukan untuk ditiadakan karena dianggap berpengaruh buruk.

Ada banyak solusi dan kemampuan tambahan bagi siswa yang bisa diperoleh dengan menjadikan gawai sebagai bagian kehidupan.

Keterbatasan alami manusia normal bisa meningkat dengan mengintegrasikan gawai dalam kehidupan.

Kemampuan menyelesaikan kalkulasi rutin yang kompleks secara cepat, kemampuan menampilkan ilustrasi 2-dimensi dan 3-dimensi secara interaktif dan menarik, interaksi dan komunikasi tanpa batas jarak ruang dan waktu, hingga terbukanya berbagai ruang informasi tanpa batas di dunia maya adalah sebagian kecil dari banyak kemampuan tambahan di luar kemampuan alami manusia yang bisa dimiliki siswa dengan mengintegrasikan gawai dalam kehidupan.

Tanpa gawai mungkin tetap bisa dilakukan, tetapi akan lebih sulit serta memerlukan waktu lebih lama.

Potensi negatif dari kemampuan-kemampuan tambahan itu memang ada, sebagai kondisi alami dari keberadaan suatu teknologi.

Sebuah pisau atau mesin blender memberi kemampuan tambahan untuk memotong bahan masakan serta menyiapkan makanan, walaupun tetap ada potensi salah dalam penggunaan.

Mobil atau motor bisa digunakan untuk membantu terjadinya kejahatan, tetapi niat baik penggunaan mobil dan motor adalah memberikan kemampuan tambahan pada penggunanya untuk bisa memiliki mobilitas yang lebih cepat dan lebih mudah daripada kemampuan mobilitas alami manusia, hanya dengan kaki atau tangannya.

Secara teknis, otomatisasi dan kemudahan bagi para siswa dan guru dengan mengintegrasikan gawai dalam pembelajaran mudah dilaksanakan.

Ruang kelas virtual berbasis LMS (Learning Management System) dapat menjadi kerangka (backbone) pelaksanaan rencana pembelajaran.

Berbagai materi dan tugas serta alur dan tahapan pembelajaran dapat dirancang mengalir secara teratur dan terdokumentasi dengan baik.

Hal ini untuk kemudian diterapkan oleh guru dan diikuti oleh para siswa sesuai rencana yang telah disiapkan, atau untuk saling berbagi tentang rencana pembelajaran yang baik tersebut.

Selain itu, otomatisasi dalam tugas dan kuis dapat meningkatkan motivasi dan kemampuan siswa dalam belajar serta memberikan kemudahan bagi guru.

Kontribusi ahli seperti Pengembang Kurikulum dan Desainer Pembelajaran dapat memudahkan guru yang berperan sebagai sutradara sekaligus aktor dalam implementasinya.

Penulis membayangkan kondisi kelas hybrid di mana siswa dan guru merdeka memilih untuk hadir pada suatu sesi pembelajaran, bisa secara tatap muka atau secara daring.

Kondisi tersebut memberikan fleksibilitas dan kesempatan untuk selalu dapat belajar di manapun dan kapan pun, sesuai kebutuhan dan kemampuan serta kondisi siswa dan guru.

Hanya dengan mengintegrasikan internet dan gawai, keleluasaan dan kemampuan tambahan tersebut dapat terwujud.

Ketersediaan akses pada berbagai bentuk buku dan materi ajar lainnya, termasuk video dan audio juga akan memperkaya pengalaman belajar siswa yang tidak mungkin diperoleh tanpa melalui penggunaan internet dan gawai.

Titik temu penggunaan gawai oleh siswa di sekolah yang akan terjadi, tampaknya akan tergantung pada kebutuhan dan kemampuan lingkungan masyarakat di mana sekolah tersebut berada.

Mewujudkan yang terbaik bagi generasi masa depan, adalah tanggungjawab kita bersama, untuk secara efektif dan efisien serta optimal para siswa kelak dapat beradaptasi dan eksis pada kondisi masa depan yang lebih baik bagi mereka.

https://www.kompas.com/edu/read/2023/01/04/175247371/tidak-tepat-melarang-siswa-pakai-gawai-di-sekolah-dan-rumah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke