Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

4 Faktor yang Buat Anak Jadi Pencuri

Oleh: Dr. Naomi Soetikno, M.Pd., Psikolog (Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Tarumanagara) | Felita Oktaviani (Mahasiswa Psikologi Profesi Jenjang Magister, Universitas Tarumanagara)

KOMPAS.com - Setiap orangtua tentu ingin memiliki anak yang dapat berkembang dan berperilaku baik. Namun demikian, tidak jarang seorang anak melakukan perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial, di mana salah satunya adalah perilaku mencuri.

Menurut data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2021), kejahatan pencurian merupakan jenis kejahatan yang banyak terjadi di Indonesia, yaitu sekitar 11 persen, 42-73 persen, dan 76 persen dari total desa/kelurahan di masing-masing provinsi pada tahun 2018.

Total kasus pencurian yang terjadi di Indonesia pada tahun 2018 adalah sebanyak 37.778 kasus.

Oleh karena itu, perilaku mencuri pada anak perlu ditangani sedini mungkin, sehingga tidak berkembang menjadi masalah yang lebih besar hingga terjerat hukum.

Namun, sebelum menangani perilaku mencuri, penting juga untuk mengetahui berbagai faktor yang dapat menyebabkan seorang anak untuk melakukan pencurian.

Setidaknya terdapat 4 faktor penyebab anak melakukan pencurian.

1. Tingkat sosial ekonomi

Ketika seorang anak berada pada keluarga dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah, anak memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan perbuatan kriminal, termasuk perilaku mencuri (Prayetno, 2013).

Hal ini dapat terjadi karena keluarga mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan hidup dan hal-hal materi lainnya, sehingga anak berusaha untuk mendapatkan hal-hal yang diinginkannya dengan cara mencuri uang atau benda milik orang lain.

Tingkat sosial ekonomi yang rendah juga berkaitan dengan adanya kecemburuan sosial atau rasa iri hati yang dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya pencurian (Prayetno, 2013).

Ketika seorang anak memiliki rasa iri hati terhadap orang lain, maka dia memiliki potensi untuk melakukan pencurian.

Misalnya, ketika anak melihat seorang temannya yang memiliki uang jajan yang lebih banyak, atau barang-barang yang dianggap lebih bagus, anak dapat memiliki rasa iri hati hingga memiliki keinginan untuk mengambil uang atau barang tersebut.

2. Pola asuh

Keluarga berperan dalam penanaman nilai-nilai moral dan norma sosial pada anak. Di mana hal tersebut merupakan hal penting yang perlu dimiliki oleh anak (Astuti, 2011).

Ketika anak belum atau kurang memahami norma yang ada di lingkungan sosial, maka dia akan kesulitan untuk mengetahui dan membedakan perilaku yang baik atau buruk.

Kurangnya pemahaman norma juga dapat membuat seorang anak melakukan pencurian karena anak tidak memahami bahwa perilaku tersebut merupakan perilaku yang salah.

Kemudian, anak juga perlu diberikan konsekuensi yang konsisten apabila melakukan pelanggaran, termasuk ketika melakukan pencurian (Astuti, 2011).

Tidak jarang orangtua membiarkan perilaku tersebut dan memaklumi anaknya, karena merasa bahwa anak belum paham mengenai apa yang dilakukannya.

Namun demikian, anak perlu belajar dan mengetahui norma dan aturan yang ada.

Apabila anak tidak diberikan konsekuensi yang konsisten atau bahkan dibiarkan saja, maka anak tidak memahami bahwa perbuatannya itu salah dan akan mengulangi perbuatannya lagi.

Terdapat beberapa konsekuensi yang dapat diberikan kepada anak ketika mecuri, seperti meminta maaf kepada orang yang barangnya dicuri, mengembalikan barang tersebut, serta memberikan pemahaman kepada anak bahwa ia tidak boleh mengambil barang orang lain tanpa izin.

Anak juga dapat diberikan konsekuensi dengan segala hal yang pernah dilakukannya, seperti saat mencuri.

3. Meniru orang lain

Berdasarkan teori belajar sosial (Bandura dalam Feist, Feist, & Roberts, 2013), anak dapat belajar dengan mengamati, mengingat, dan meniru perilaku maupun sikap orang lain.

Anak yang dibesarkan pada lingkungan yang banyak melakukan perilaku mencuri, ataupun melihat tontonan terkait pencurian, maka anak juga dapat mempelajari perilaku tersebut dan menirunya (Wulandari, 2014).

Anak juga dapat terus melakukan perilaku yang ditirunya, karena anak mendapatkan kesenangan setelah melakukan perilaku tersebut, misalnya seperti merasa senang karena bisa membeli jajanan setelah mencuri.

Oleh karena itu, penting juga untuk mengetahui lingkungan sekitar anak dalam masa pertumbuhannya.

4. Kontrol diri

Kemampuan kontrol diri pada anak juga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya perilaku mencuri (Karlina, 2020).

Anak yang kesulitan untuk mengontrol dirinya akan memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan pelanggaran pada suatu aturan, termasuk mencuri.

Meskipun anak memiliki pemahaman akan norma dan aturan, anak dengan kemampuan kontrol diri yang rendah akan kesulitan untuk menahan dorongan untuk mencuri.

Oleh karena itu, penting juga untuk mengetahui kemampuan kontrol diri yang dimiliki oleh anak dan meningkatkan kemampuan tersebut.

Setelah mengetahui berbagai faktor penyebab dari perilaku mencuri, orangtua dapat mengevaluasi kondisi anak-anak yang melakukan pencurian dan melakukan penanganan pada anak.

Apapun penyebabnya, perilaku mencuri tetap merupakan perilaku yang salah dan tidak boleh dilakukan oleh anak.

Apabila orangtua merasa kesulitan untuk menangani perilaku tersebut dan anak tetap terus melakukannya, maka orangtua dapat mempertimbangkan untuk mencari bantuan profesional, seperti psikolog. Jangan malu untuk mencari pertolongan bagi anak Anda.

https://www.kompas.com/edu/read/2022/11/20/192128971/4-faktor-yang-buat-anak-jadi-pencuri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke