Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pak Presiden, Tugas Daring Ini Banyak Sekali!

Oleh: Hendri | Guru SMPN 2 Bangkinang Kota, Kab Kampar, Riau dan Fasilitator Program Pintar Tanoto Foundation

KOMPAS.com - Para pakar pendidikan boleh bicara apa saja tentang kelebihan belajar daring, namun satu hal yang pasti, sehebat apapun teknologi takkan pernah bisa menggantikan peran seorang guru.

Sekolah saya gempar. Seorang siswa kelas IX mention ke akun instagram Presiden Jokowi dan mengadu, "Pak Presiden, tugas-tugas dari sekolah saya berat dan banyak, Pak. Tolong, Pak! Saya tak sanggup! Kuota internet saya tak ada".

Dalam beberapa menit, pengaduan itu menjadi viral. Sekolah pun tak tinggal diam, kurang dari satu jam kemudian, siswa tersebut menghapus pesannya itu dan meminta maaf kepada seluruh guru melalui screenshot wali kelasnya di grup Whatsapp sekolah.

Meski kaget, akhirnya kami para guru mencoba melupakan peristiwa konyol tersebut. Seorang guru senior berkata masygul, “Inilah suka duka belajar online…”

Itulah salah satu gambaran tentang pembelajaran online. Ada yang merasa berat, tapi banyak pula yang merasa senang. Namun, apa pun yang terjadi, guru tetap punya peran penting dalam segala model pembelajaran.

Bermula dari bercanda

Mungkin Anda masih ingat ketika Nadiem Anwar Makarim didaulat menjadi Mendikbud banyak tanggapan yang beredar di masyarakat. Mulai dari usianya yang masih muda hingga latar belakang dari pengusaha sukses pendiri Gojek.

Komentar lucu yang paling diingat orang adalah "tidak lama lagi kita akan belajar online, bayar SPP pakai e-payment, dan ijazah pdf di-print sendiri".

Siapa sangka, satu dari candaan itu kini jadi kenyataan. Seiring merebaknya pandemi corona di Indonesia memaksa pemerintah merumahkan seluruh guru dan siswa sampai batas waktu yang tak ditentukan.

Situasi tak terduga itu tentu mengharuskan pemerintah mengambil kebijakan bahwa Indonesia harus tetap belajar. Maka apa boleh buat, belajar online (dalam bahasa Indonesia disebut belajar daring) pun jadi pilihan terbaik.

Program daring

Belajar daring sebenarnya bukanlah barang baru, ia sudah ada sejak dicanangkannya tantangan era revolusi industri 4.0. Perkembangan teknologi saat ini menjadi bagian tak terpisahkan dalam aktivitas sehari-hari, termasuk dalam dunia pendidikan.

Metode ini merupakan kolaborasi antara institusi pendidikan dan penyedia digital untuk melengkapi kelas dengan fasilitas digital.

Tomy Yunus, CEO platform penghubung siswa dan guru daring Squline, mengatakan dengan belajar daring siswa tidak hanya melihat dan mendengar guru, materi pembelajarannya pun dapat disesuaikan dengan tingkat keahlian siswa.

Ini akan menguntungkan karena dapat menghemat waktu belajar, biaya, dan efektif. Keterbatasan jumlah guru dibandingkan siswa dan kebutuhan buku teks dapat diatasi dengan bantuan pembelajaran daring.

Bagaimana persiapannya?

Indonesia ini sangat luas dengan kondisi geografis dan latar masyarakat yang beragam. Harus ada langkah nyata dari pemerintah untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses internet sebagai syarat mutlak.

Untuk itu, Kemendikbud menjalin kerjasama dengan pihak swasta dan operator telekomunikasi untuk menyukseskan pembelajaran di rumah.

Saat ini sudah banyak akses belajar daring yang bisa dipakai, di antaranya Rumah Belajar, Meja Kita, Icando, IndonesiaX, Google for Education, Kelas Pintar, Microsoft Office 365, Quipper School, Ruangguru, Sekolahmu, Zenius, dan Cisco Webex.

Tak cukup hanya itu, Kemendikbud juga meluncurkan Program Guru Berbagi, untuk membantu guru melaksanakan pembelajaran dalam jaringan (daring) dan jarak jauh pada masa darurat Coronavirus Disease (Covid-19).

Kelebihan belajar daring

Situs Bina Nusantara merilis kelebihan belajar daring sebagai media komunikasi yang efektif, cepat dan kredibel untuk menyampaikan materi, cakupannya lebih luas, bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, dan peningkatan pembelajaran siswa.

“Asik banget! Guruku cepat kasih feedback di google classroom,” kata anak temanku yang bersekolah di sebuah SMP swasta mahal di Jakarta.

Saat saya tanya latar belakang gurunya, dia menjawab, “Masih muda, keren, S2, tajir lagi.”
Masalahnya, di Indonesia yang luas ini, tak semua guru yang muda, keren, S2, dan tajir lagi.

Gagap teknologi

Bagaimana dengan guru dan siswa lain yang tersebar di ribuan pulau besar dan kecil Nusantara? Guru ada yang tua, muda, pintar banget, kuno, banyak utang, tak paham teknologi, tinggal di pelosok, dan tak punya android.

Siswa pun begitu juga, tak semuanya kaya seperti si anak teman tadi, segala bentuk kesusahan hidup ada pada mereka, yang malas sekolah jangan ditanya, yang hingga kini belum bisa membaca juga ada.

Jangankan gawai, membeli buku pelajaran saja tak pernah karena tak ada uang. Lengkap sudah paradoks itu dengan kondisi sekolah yang minim sarana dan infrastruktur, guru honorer yang enam bulan belum gajian, dan wali murid yang tak pedulian.

Bagaimana mau berdaring-daring?

Namun pemerintah sudah mendesak dengan alasan darurat, dan perintahnya pun darurat, dalam arti kata setiap saat berubah-ubah.

Instrumen pembelajaran daring di sekolah kami berubah sekali tiga hari, namun isinya sama saja, bohong semua, kami diwajibkan mengisi sesuai jadwal mengajar hari itu, seolah-olah memberi pembelajaran daring dengan materi sesuai silabus hanya untuk laporan ke dinas.

Ketidakpahaman guru (atau institusi pendidikan) akan hakikat pembelajaran daring ini pun berbuah keliru. Entah siapa yang mempelopori, hampir semua sekolah menerjemahkan dengan memberi tugas seluruh mapel kepada siswa melalui grup whatsapp.

Bisa dibayangkan apa yang terjadi, protes pun berdatangan dari orang tua siswa, ada yang mengatakan terlalu banyak tugas, tidak ada tugas, dan sebagainya. Salah satu contohnya ilustrasi di atas tadi, mengadu ke Presiden.

Forum guru bicara

"Sangat keliru, jika pembelajaran daring sama halnya dengan memberi tugas pada murid," ujar Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia, Muhammad Ramli Rahim.

Jika hanya memberikan tugas atau pekerjaan rumah pada siswa, maka yang repot adalah orang tuanya. Apalagi, jika orang tuanya juga bekerja dari rumah.

Pembelajaran daring masih dianggap hanya memberikan tugas melalui internet, bukan pembelajaran daring saat guru dan murid bertemu di ruang maya.

Belum lagi kendala lain, masih banyak orang tua yang tidak mempunyai gawai yang memadai, akibatnya anak kesulitan dalam mengerjakan tugas dari guru. Parahnya lagi, selama belajar di rumah anak-anak lebih banyak santai main gawai dibandingkan belajar.

Berbeda jika di sekolah yang menuntut mereka memerhatikan guru saat memberikan pelajaran.

MRR mengatakan, “Seharusnya pembelajaran daring sama halnya dengan pembelajaran di kelas. Murid dan guru bertemu di ruang maya, dan ada interaksi di sana. Adanya virus Covid-19 ini membuka mata kita, bagaimana sesungguhnya kualitas guru kita. Pendidikan kita masih gagap dalam menghadapi kondisi seperti ini."

Nadiem mengakui

Mendikbud sendiri mengakui, tak mudah memulai konsep yang membutuhkan SDM dan sarana yang baik ini.

“Memang tidak semua daerah punya akses smartphone ataupun koneksi internet yang baik. Jadi ini merupakan suatu hal yang menantang. Tetapi kami berkomitmen untuk terus meningkatkan kerja sama ke depan, memastikan sekolah bisa menyelenggarakan pembelajaran daring."

Mas Menteri juga optimis dengan gotong royong antara semua pihak. “Kita dapat melalui masa sulit ini bersama-sama,” tambahnya.

Jangan lupakan guru

Para pakar pendidikan boleh bicara apa saja tentang kelebihan belajar daring, namun satu hal yang pasti, sehebat apapun teknologi takkan pernah bisa menggantikan peran seorang guru. Wabah covid ini memberi pelajaran berharga, bahwa bagaimanapun peran guru tak pernah terganti.

Syaiful Bahri Djamarah menuliskan dalam bukunya Psikologi Belajar: Guru adalah salah satu unsur manusia dalam proses pendidikan, dan unsur manusiawi lainnya adalah anak didik.

Guru dan anak didik berada dalam suatu relasi kejiwaan. Keduanya berada dalam proses interaksi edukatif dengan tugas dan peranan yang berbeda.

Walaupun mereka berlainan secara fisik dan mental, tetapi mereka tetap seiring dan setujuan untuk mencapai kebaikan akhlak, kebaikan moral, kebaikan hukum, kebaikan sosial, dan sebagainya.

Pembelajaran daring memang hebat, tapi hanya pada aspek pelatihan, dan bukan aspek pendidikan. Padahal kedua aspek itu seiring sejalan dalam proses belajar mengajar.

Selain itu, belajar daring pun ‘cuek’ dengan aspek sosial dan akademik, interaksi dari hati ke hati boleh dikatakan tidak ada. Wajar saja, karena semua itu hanya mampu dilakukan manusia bernama guru atau pendidik.

Ketahuilah, mengajar tidak sama dengan mendidik. Mengajar hanya memberi materi pelajaran kepada anak didik di kelas, sedangkan mendidik cenderung pada suatu usaha yang disengaja untuk membimbing dan membina anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap, aktif-kreatif dan mandiri.

“Bunda, Dita kangen, kapan kita sekolah lagi, Bunda?” pesan rindu mengharukan via Whatsapp ini adalah satu dari ratusan pesan yang masuk ke gawai guru-guru.

Sampai kapanpun anak didik selalu merindukan kehadiran guru. Guru adalah ‘spiritual father’ bagi anak didik. Kemuliaan guru akan tercermin dalam kebaikan perilaku anak didik. Kebaikan hati anak didik adalah sebagai manifestasi dari kebaikan guru.

Semoga petaka ini segera pergi, agar anak-anak kita bisa berlarian mengejar gurunya lagi di sekolah dalam sapa ceria, seperti sedia kala. 

https://www.kompas.com/edu/read/2022/03/18/104914271/pak-presiden-tugas-daring-ini-banyak-sekali

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke