Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Peneliti IPB Sebut Penyaluran Bansos Pemerintah Jauh dari Efektif

KOMPAS.com - Peneliti IPB, Noni Noerkalsar menyebut penyaluran bantuan sosial (bansos) pemerintah dinilai masih jauh dari efektif.

Menurut dia, pemberian bansos dan subsidi dengan berbagai skema diupayakan mencukupi kebutuhan dasar masyarakat.

Salah satunya lewat Jaring Pengaman Sosial (JPS) berupa bansos sembako dan tunai, kartu prakerja, dan kartu harapan.

"Sayangnya program ini menimbulkan permasalahan sendiri. Berdasarkan penelitian sebelumnya, terjadi ketidaktepatan sasaran penerima bansos," ucap dia dalam acara Brown Bag Seminar yang digelar DJPb Kemenkeu, melansir laman IPB, Selasa (7/12/2021).

Dia mengaku, bantuan ini juga kerap disalahgunakan oleh pemerintah daerah (Pemda).

Tidak hanya itu, permasalahan ini kian diperparah dengan penemuan kasus penyelewengan dana Bansos di tingkat pemerintah pusat.

Berdasarkan riset terdahulu, dapat ditarik benang merah bahwa permasalahan dalam penyaluran bansos terjadi pada sebelum dan setelah pandemi berlangsung.

Dia menambahkan, metode kuantitatif hingga analisis kajian wacana dilakukan untuk menelaah efektivitas penyaluran bansos Covid-19 di Indonesia.

Ditemukan berbagai permasalahan pada setiap jenis bansos.

Sebagian besar diakibatkan oleh database yang tidak akurat dan skema penyaluran yang berbelit-belit. Terutama bagi penyaluran ke wilayah terpencil.

"Lamanya proses distribusi semakin memperlambat penerimaan bansos oleh masyarakat terutama di daerah yang relatif jauh dari perkotaan," ujar dia.

Lanjut dia mengatakan, penyaluran bansos pemerintah dinilai masih tidak efektif dan tepat sasaran.

Sebagian besar masyarakat masih belum menerima bansos meskipun berhak.

Masih ada banyak permasalahan dalam penyaluran JPS dari hulu hingga ke hilir. Ketidakandalan basis data menjadi faktor utama permasalahan pendistribusian bansos.

"Diketahui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) diperbaharui secara masif pada 2015. Padahal bila mengacu Pasal 8 ayat 5 UU Nomor 13 tahun 2016 berkenaan dengan pengurusan masyarakat sejahtera dijelaskan, semestinya verifikasi dan validasi data harus dilaksanakan secara periodik sekurang-kurangnya dua tahun sekali," ungkap dia.

Transparansi dan akuntabilitas data diperlukan dalam tata laksana penyaluran bansos.

Hal ini harus memenuhi unsur komunikasi, koordinasi serta kolaborasi harmonis secara horizontal maupun vertikal. Dibutuhkan juga sosialisasi secara masif dan detail oleh pemerintah terkait prosedur penyaluran bansos.

"Transformasi digital yang begitu cepat harus dimanfaatkan dengan optimal yaitu dengan digitalisasi data penyaluran bansos yang terintegrasi dengan banking system untuk meminimalisir celah korupsi, gratifikasi dan pungutan liar di seluruh skema dan unit penyaluran bantuan sosial pemerintah," jelas dia.

Pakar Ekonomi IPB, Prof. Bambang Juanda menjelaskan, berdasarkan data sekunder dalam penelitian tersebut memang data penerima bansos yang tidak berhak cukup tinggi.

Penyaluran bansos oleh pemerintah seharusnya dikelola dengan serius dan efektif di seluruh lapisan.

Menurut Bambang, faktor utama yang masih menjadi momok adalah permasalahan transparansi dan kredibilitas data.

Kebijakan terkait data belum ada perbaikan yang signifikan dalam hal penyaluran bansos, sehingga perlu adanya koordinasi dan kolaborasi antar lembaga. Mau tidak mau mengandalkan teknologi digital.

"Data sekunder yang didapatkan dari penelitian juga dapat diklarifikasi oleh data primer. Kita ingin evidence based policy yang diterapkan. Jadi kebijakan ini harus selalu berbasis fakta. Alokasi dana desa juga bisa menjadi modal untuk melakukan update data secara berkala," tukas Prof. Bambang.

https://www.kompas.com/edu/read/2021/12/07/092850671/peneliti-ipb-sebut-penyaluran-bansos-pemerintah-jauh-dari-efektif

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke