Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pakar Hukum UGM: 2 Hal Ini Beri Kesan Mafia Tanah Legal di Mata Publik

KOMPAS.com - Berbagai kasus mafia tanah mulai bermunculan di tanah air. Kasus terakhir, yakni menimpa publik figur Nirina Zubir.

Sebanyak enam aset berupa tanah dan bangunan dengan nilai mencapai Rp 17 miliar milik ibu kandung Nirina Zubir, yakni Cut Indria Marzuki dicaplok oleh mafia tanah.

Menurut Pakar Hukum Tanah sekaligus Guru Besar Fakultas Hukum UGM Prof. Nurhasan Ismail, adanya kesan jaringan mafia tanah ini wajar, sah, dan legal di mata publik, karena pelaksanaan kinerjanya ditandai dengan hal.

Yakni, melibatkan simbol-simbol pelaksana hukum, seperti oknum Notaris PPAT dan Aparat Sipil Negara (ASN) dari lingkungan Badan Pertanahan Nasional, beserta jajarannya ke bawah serta penegak hukum, seperti oknum hakim.

"Oknum pelaksana dan penegak hukum yang dimaksud dapat berkedudukan sebagai bagian dari jaringan kinerja mafia tanah atau mereka hanya menjadi korban dari kinerja mafia tanah," ucap dia melansir laman UGM, Senin (22/11/2021).

Selain itu, mafia tanah juga mampu mencari celah dari peraturan perundang-undangan bidang pertanahan serta informasi terkait dengan administrasi pemberian hak atas tanah dan sertifikasi hak atas tanah yang pernah diterbitkan.

Kemudian mafia tanah memiliki kemampuan mendapatkan alat bukti kepemilikan tanah dan mengidentifikasi tanah-tanah yang ditinggalkan dan dibiarkan tidak termanfaatkan oleh pemegang haknya.

Adanya beberapa sumber administrasi pertanahan yang belum terintegrasi, kata Nurhasan, merupakan peluang bagi mafia tanah untuk melaksanakan jaringan kinerja ilegalnya melalui penggunaan berbagai alat bukti dari sumber administrasi yang berbeda-beda.

"Dan juga belum tunggalnya atau masih pluralnya tanda bukti hak membuka peluang masuknya jaringan mafia tanah dengan memanfaatkan keberadaan berbagai bentuk tanda bukti hak yang ada," tegas dia.

Begitu pula belum tunggalnya tanda bukti hak, itu karena belum selesainya proses pendaftaran tanah di seluruh Indonesia, sehingga masih dibuka penggunaan tanda bukti hak atas tanah yang ada sebelum UUPA.

Alat bukti sah kepemilikan tanah

PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang masih mengakui beberapa alat bukti, yaitu selain sertifikat sebagai alat bukti kuat dan beberapa dokumen awal girik/petuk/surat rincikan, serta surat pernyataan subjek yang menguasai tanah secara fisik terus-menerus selama 20 tahun atau lebih bagi kepemilikan tanah yang tidak disertai alat bukti tertulis.

Ketentuan tersebut telah memberi peluang pilihan bagi mafia tanah untuk memanfaatkannya.

Di samping itu, belum adanya pengaturan lebih lanjut terjadinya hak milik menurut hukum adat, sehingga masih diakui alat bukti berupa penguasaan tanah secara fisik terus menerus dengan iktikad baik berdasarkan hukum adat.

"Bagi Jaringan kinerja mafia tanah semua celah baik yang terdapat dalam ketentuan hukum dan administrasi pertanahan maupun sikap abai dari pemegang hak atas tanah terbuka dijadikan peluang untuk melaksanakan kinerja ilegalnya untuk memperoleh keuntungan dan merugikan pihak lain," ujarnya.

Cara berantas mafia tanah

Oleh karena itu, upaya memberantas mafia tanah harus menutup atau memperbaiki celah yang menjadi faktor peluang masuknya jaringan mafia tanah.

"Selama celah tersebut masih terbuka, maka selama itu pula jaringan mafia tanah akan memanfaatkan," terangnya.

Belum sistematisnya administrasi pertanahan terhadap tanah yang haknya berakhir atau hapus telah memberikan peluang bagi masuknya mafia tanah untuk memanfaatkan. Juga kebijakan pemberian hak atas tanah (HAT) yang liberal membuka peluang bagi mafia tanah.

Demikian pula adanya tingkat persaingan yang tinggi antar PPAT juga dimanfaatkan oleh mafia anah untuk memperoleh dokumen peralihan hak atas tanah.

Oleh sebab itu, dalam memberantas mafia tanah perlu mengembangkan pedoman teknis administratif berupa pemberian peringatan kepada pemegang hak atau penerima SK untuk melaksanakan kewajibannya, dan pernyataan secara terbuka adanya penguasaan tanah secara langsung oleh negara dan sekaligus rencana penggunaannya.

Sedangkan upaya mencegah konflik atau sengketa yang berasal faktor kebijakan pemberian HAT adalah dengan menata kembali kebijakan pemberian HAT.

Jika karakter liberal tidak dapat diubah, maka pemberiannya dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan modal, dan potensi tanah terlantar/tidak produktif harus dihentikan.

"Upaya mencegah juga bisa dilakukan dengan membina PPAT, baik sikap profesionalismenya maupun sikap moral pelaksanaan tugasnya, serta pengawasan oleh Kantor Pertanahan," tukasnya.

https://www.kompas.com/edu/read/2021/11/22/184800271/pakar-hukum-ugm--2-hal-ini-beri-kesan-mafia-tanah-legal-di-mata-publik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke