Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Seribu Arti Kegigihan Bu Nyai

Oleh: Nayla Syarifah Hiefra | SMAN 5 Yogyakarta, DIY | Finalis Festival Literasi Siswa Indonesia 2021

KOMPAS.com - Panas cuaca dan pedasnya kata-kata, ditelan olehnya dengan rela. Sebut saja 'Bu Nyai', sosok yang bisa kami temukan tiap siang pada sebuah dusun di Kelurahan Jambidan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul.

Gaya berkelilingnya selalu sama, keranjang dijinjing, sepeda dituntun, demi rezeki yang agaknya tak sempat untuk terkumpul.

Tiga kilometer jalan yang ditempuh dengan sepeda dan kakinya. Warga perumahan di Dusun Bintaran memang banyak yang mengabaikannya, tapi tidak untuk satu hingga tiga pelanggan setia.

Muryani, nama asli pedagang itu, makin sering ngider meski ke rumah yang itu-itu saja.

Lantas, bagaimana pendapat warga yang didatangi? "Saya sampai nggak belanja di tempat lain lho, Mbak. Biar ada yang bisa dibeli waktu Bu Nyai datang," tutur Iwuk. Sejak pertama kali Muryani datang ke rumahnya, ia jadi sering membeli sembako pada ibu berkerudung itu.

Bahkan, ia juga biasa membeli dagangan lain yang ditawarkan Muryani.

"Setiap datang selalu teriak, 'Monggo, Bu Nyai!'," kisahnya. Sebutan 'Bu Nyai' yang tersemat pada Muryani, bermula dari kebiasaan yang ia lakukan. Muryani memang bukan seorang alim seperti istilah pada kamus islami. Malah, ia mengaku bahwa dirinya bukanlah seorang yang terpelajar meski usianya telah berkepala empat.

"Saya orang bodoh, tidak tahu baca tulis," kata Muryani dengan suara parau, sambil menundukkan kepalanya.

Sesaat terdengar miris, sebelum kemudian kami yang mendengar tak lagi bertanya. Maklum, Muryani dengan pakaian kumal serta wajah kusam dan keriputnya memang sudah tampak memprihatinkan.

Bila untuk sandang dan pangan saja ia kesulitan, apalagi pendidikan? Beruntunglah ia, punya sepeda onthel tua yang masih dapat dikayuh dan diajak untuk mencari rezeki.

Tak peduli dengan keadaan dirinya, ia berusaha untuk tetap bekerja demi kelangsungan hidupnya dan sang kakak lelaki. Mau bagaimana lagi, kakaknya sakit-sakitan sehingga ia mesti berjuang seorang diri.

Bisanya hanya berjualan, maka berapa pun orang yang menolaknya, ia akan tetap melakukan.

Bergelut di bidang ekonomi, Bu Nyai turut bersaing dengan food delivery. Tantangan yang harus ia hadapi tidak main-main. Bila food delivery cukup mengantarkan makanan yang telah dipesan, maka Bu Nyai harus memikirkan barang apa saja yang orang-orang butuhkan.

Dipilihlah barang itu, lalu ia hamparkan di depan rumah sang pembeli. Tidak juga langsung kembali, ia harus menunggu dulu sampai barangnya terjual lagi.

"Nggih kesel," ungkapnya tentang kesibukan berdagang keliling. Selain melelahkan, ketidakpastian pembeli turut andil pada omzet dagangannya yang tak selalu habis pada sekali jalan. Situasi pandemi sangat berdampak pada perekonomian termasuk dirinya.

Meski demikian, hantaman pandemi tak mengubah kegigihan Bu Nyai menawarkan dagangannya ke sana kemari. Justru, cobaan itu tak terlampau ia rasakan karena tiada beda dengan apa yang biasa ia seka.

Namun, tetap ia hadapi tawaran yang tak berbuah laris. Juga masih ia ladeni penolakan calon pembeli yang tak terasa manis di telinga dan hatinya.

Semangat Bu Nyai turut diuji dengan pandangan rendah dari orang-orang yang ia temui. “Jangan membeli dagangan Muryani," kata mereka. Secara logika, apa manfaat dari barang yang dijual oleh manusia setengah gila?

Pandangan itu bermula dari tingkah Muryani yang cenderung tak biasa. Datang, menawarkan jualan, ditolak, tetapi ia malah tetap di tempat berkian-kian lamanya. Gigihnya terkesan memaksa karena baru pergi ketika sang pemilik rumah mengalah dan memutuskan untuk membeli barang apa saja darinya.

“Kau tentu mengerti tentang kucing liar yang mampir untuk meminta makan. Dalam satu kali pemberian, esok hingga hari-hari berikutnya si kucing akan terus kembali.”

Begitulah anggapan orang-orang terhadap Bu Nyai. Jangan sekali-kali dagangannya kau beli, kecuali bila ingin terus dihantui.

Barang yang ia jual sama sekali tak berkualitas. Jangankan spesial, dibilang baik pun tidak. Lagi, kulak di warung eceran membuat Muryani mematok harga sedikit lebih tinggi agar tetap mendapatkan laba sekadarnya.

"Jangan lupa niatkan untuk bersedekah," nasihat seorang pembeli menyikapi perangai Muryani. Menurut pengalaman ibu itu, Muryani tidak mau diberi sedekah secara langsung sebagai ganti dari membeli.

Ia justru memberikan satu dua dagangannya untuk mereka yang membayar lebih. Sebisa mungkin, berapa pun nominalnya Muryani selalu amanah dengan tak lupa menyerahkan uang kembalian.

Bertahun-tahun ia berjualan dalam kesederhanaan, hasilnya hanya mencukupi kebutuhan makan. Padahal, Muryani juga perlu membayar utang yang ia miliki. Tertambal sedikit lantas terbuka lagi, utang Muryani.

Namun, pikiran Muryani yang polos, tetap mengembalikannya, entah bagaimana caranya. Bila ada solusi untuk orang-orang seperti dirinya, kehidupan seharusnya dapat lebih sejahtera.

Menjadi hal yang unik ketika Muryani mulai bernegosiasi dengan pelanggan. Tidak lantas putus asa dan mudah menyerah, ia tak mengobral kemiskinan demi belas kasihan agar dagangannya terbeli.

Selain itu, Muryani lebih memilih untuk memberikan jaminan keawetan pada barang yang ia bawa.

"Saya ditawari telur, padahal masih punya. Bu Nyai bilang beli lagi saja karena dagangannya awet," ujar Iwuk tentang pengalaman kesekiannya dengan Bu Nyai.

Selain tentang kemiskinannya yang tak dijadikan senjata, sikap Muryani yang satu ini jangan dipandang sebelah mata. Berada dalam kesempitan finansial tidak mendorong ia untuk mengambil hak milik orang lain.

Berdagang sudah ia anggap sebagai pekerjaan terbaik alih-alih merugikan.

"Mudah-mudahan ya, Mbak!" harapnya tentang kelancaran usaha, sebelum kemudian berpamitan menambah lagi giat berjuangnya.

Para pekerja di berbagai sektor yang harus kehilangan mata pencaharian misalnya. Tanpa perlu menganggur, mereka dapat memulai pekerjaan yang hampir semua orang bisa melakukan, yakni berjualan.

Berbagai keterbatasan mulai dari modal, sarana, hingga pengalaman tidak perlu menjadi batu sandungan. Bercermin dari Bu Nyai, sebenarnya kebanyakan dari kita memiliki faktor keberhasilan yang lebih besar.

Hanya saja, mungkin kita telah terlena dengan zona nyaman, takut gagal, atau mudah menyerah bila mendapatkan hambatan.

Di sinilah Bu Nyai hadir sebagai local heroes yang patut dicontoh etos kerjanya. Ia tidak gentar dipandang remeh orang lain. Ia juga bekerja tanpa malu dan ragu asal halal di mata Allah.

Tak lupa dengan tetap amanah, sejauh apa pun ia melangkah. Sebab, bukankah bekerja adalah ibadah dalam rangka meraih rezeki dan ridha-Nya?

https://www.kompas.com/edu/read/2021/10/27/152818571/seribu-arti-kegigihan-bu-nyai

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke