Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

I-4 Diaspora: Pelajaran dari Jepang Dalam Penanganan Covid-19 dan "New Normal"

Oleh: Dr. Dedy Eka Priyanto (Senior Consultant, KPMG) | Dr. Muhammad Aziz (Associate Professor, University of Tokyo) | Dr. Satria Zulkarnaen Bisri (Research Scientist, RIKEN & Visiting Associate Professor, Tokyo Institute of Technology)

KOMPAS.com - Hampir dua bulan pemerintah Jepang memberlakukan status keadaan darurat di seluruh wilayah Jepang sejak 7 April 2020 yang lalu, dan upaya pemerintah dalam melandaikan kurva jumlah kasus Covid-19, membuahkan hasil.

Setelah mencapai puncak jumlah kasus (lebih 700 orang/hari) pada tanggal 11 April 2020, kasus baru Covid-19 terus mengalami penurunan dan pada tanggal 25 Mei 2020 akhirnya pemerintah Jepang mencabut status darurat seluruh nasional.

Pada bulan Juni, jumlah kasus harian masih relatif stabil di bawah 50 kasus secara nasional.

Cara Jepang dalam menangani Covid-19 tidaklah sempurna, namun banyak hal yang bisa dipetik sebagai pelajaran:

Status keadaan darurat

Status keadaan darurat di Jepang cukup unik dan sangat berbeda dengan negara lain pada umumnya yang membatasi pergerakan warganya secara ketat dan ada hukuman bila melanggar.

Alih-alih bisa memerintahkan lockdown, atau memerintahkan pembatasan sosial, status keadaan darurat hanya membolehkan pemerintah Jepang memberikan anjuran.

Berdasarkan konstitusi Jepang, negara wajib menjamin kebebasan individu, namun tidak tertulis pengecualian ketika keadaan darurat.

Sehingga pada saat keadaan darurat pun, pemerintah tidak memiliki wewenang menghukum orang yang tidak mentaati anjuran pemerintah.

Walaupun demikian, dengan dinyatakannya status keadaan darurat, pertama kalinya sejak selesai Perang Dunia II, mampu memberi pesan kuat kepada warganya akan bahaya Covid-19.

Sebelum diberlakukannya status ini, tidak sedikit yang cuek dan tidak mentaati anjuran pemerintah untuk tetap di rumah, khususnya di kalangan anak muda.

Kota Shibuya, Harajuku yang menjadi favorit tempat nongkrong anak muda, masih cukup ramai.

Ditambah lagi, masih banyak pekerja tidak melakukan telework. Berdasarkan survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan Tenaga Kerja Jepang (MHLW) bekerjasama dengan LINE pada akhir bulan Maret 2020 lalu, hanya 5,6 persen dari peserta survei melakukan telework/working from home.

Namun setelah diberlakukannya keadaan darurat secara nasional, kewaspadaan masyarakat semakin meningkat.

Hal ini ditandai dengan berkurang drastisnya (70-80 persen) trafik di stasiun yang biasanya ramai, seperti stasiun Tokyo, Shibuya, dan Umeda (Osaka) yang diukur dari sinyal pergerakan telepon genggam.

Jepang memiliki libur panjang tanggal 29 April hingga 6 Mei 2020, atau yang lebih dikenal sebagai Golden Week. Lazimnya ketika Golden Week, banyak orang pulang ke kampung halaman atau berwisata ke daerah menggunakan Shinkansen.

Ketika keadaan darurat diterapkan dan pemerintah menetapkan anjuran untuk tidak berpindah kota, jumlah penumpang Shinkansen mengalami penurunan sangat drastis hingga 98 persen dibanding tahun lalu.

Selain itu, mayoritas perusahaan di Jepang juga mengambil kebijakan untuk memerintahkan karyawannya bekerja di rumah dan melarang melakukan perjalanan bisnis ke luar kota dan luar negeri. Pertemuan dengan klien juga lebih banyak dilakukan secara online.

Dari survei LINE di akhir bulan april menunjukkan peningkatan responden yang melakukan telework mencapai 27 persen secara nasional, dan 52 persen untuk kota Tokyo.

Hal-hal di atas menunjukkan keefektifan status kondisi darurat dalam menekan perpindahan warga Jepang, sehingga penyebaran kasus Covid-19 dari kota-kota besar, bisa ditekan, walaupun kebijakan pemerintah yang ada tidak dibuat memaksa.

Hindari 3Cs

Salah satu cara Jepang melawan Covid-19, mensosialisasikan dengan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti. Disaat negara lain lebih mensosialisasikan social distancing, Jepang sejak awal mensosialisasikan “Hindari 3-Mitsu” (bahasa Jepang) atau 3Cs (bahasa Inggris).

3Cs merupakan singkatan bahasa inggris yaitu Closed spaces (ruang tertutup), Crowded places (tempat keramaian), dan Close-contact settings (berbicara dengan jarak dekat).

Kebijakan sosialisasi ini diambil setelah kasus klaster Covid-19 banyak ditemukan di tempat tertutup seperti live-music house dan karaoke pada awal bulan Februari.

Sosialisasi ini cukup gencar dilakukan baik dalam skala nasional hingga kelurahan. Hampir setiap hari mendengar pengumuman dari pemerintah lokal lewat pengeras suara, agar menghindari 3Cs ketika status keadaan darurat diberlakukan.

Dengan adanya sosialisasi ini, warga bisa tahu tempat mana yang harus dihindari dan tempat mana yang boleh dikunjungi.

Kebiasaan Hidup Bersih

Selain sosialisasi 3Cs, kebiasaan lama orang Jepang juga memegang peranan penting dalam pencegahan Covid-19, seperti memakai masker, mencuci tangan, dan tidak bersalaman atau berpelukan.

Orang Jepang memiliki kebiasaan memakai masker untuk pencegahan penyakit, khususnya influenza di musim dingin, dan juga menghindari hayfever (alergi serbuk bunga/pohon) di musim semi.

Sehingga, sebelum wabah Covid-19 pun, tidak heran banyak dijumpai warga Jepang yang memakai masker walaupun tidak sakit. Masker akhirnya terbukti efektif mencegah penularan Covid-19 melalui udara.

Cuci tangan, khususnya sehabis pergi keluar, juga sudah menjadi kebiasaan sehari-hari masyarakat Jepang dan diajarkan sejak kecil.

Anak TK dan SD pun sudah biasa diajarkan beberapa senandung khusus untuk mencuci tangan, sehingga durasinya cukup panjang (lebih dari 30 detik).

Cuci tangannya pun tidak hanya sekedar mencuci bagian permukaannya saja, namun hingga celah-celah jari, kuku dan pergelangan tangan menggunakan sabun.

Cara mencuci tangan yang benar bahkan lebih gencar disosialisasikan ketika Covid-19 mulai mewabah lewat artis-artis terkenal seperti Arashi dan Pikotaro.

Di sisi lain, mayoritas air keran di Jepang dipastikan memiliki kandungan chlorine (dari kaporit) yang cukup, antara 0.1 mg/L hingga 0.4 mg/L, untuk menjamin kehigienisannya.

Ketika menyapa atau bertemu orang lain, orang Jepang memiliki kebiasaan membungkukan badan daripada berjabat tangan atau berpelukan.

Bahkan sangat jarang sekali bisa menemui pasangan atau keluarga Jepang yang berciuman di muka umum. Kebiasaan non-contact ini secara tidak langsung, mencegah penularan melalui kontak fisik.

Selain itu, beberapa kebiasaan (manner) orang Jepang di transportasi publik sedikit banyak meminimalisir resiko penularan, seperti etika tidak diperbolehkannya berbicara di telepon atau bahkan mengangkat telepon jika sedang di dalam kereta.

Begitu juga dengan mayoritas orang Jepang yang menjadi sedikit berbicara begitu mereka menaiki kereta. Hal-hal tersebut mengurangi potensi keluarnya droplets dari mulut.

Kebiasaan-kebiasaan ini setidaknya mengimbangi potensi penularan di dalam kereta yang pada dasarnya adalah tempat yang bersifat 3C.

Walaupun demikian, mereka mengambil kebijakan selalu berbasis data.

Pemerintah di awal telah membentuk tim penanggulangan klaster yang terdiri atas pakar epidemiologist, kesehatan dan data scientist.

Selain mendeteksi dan mencegah perluasan klaster melalui contact tracing, mereka juga menganalisis data penyebaran Covid-19 dan memberikan saran-saran kepada pemerintah daerah dan pusat.

Tim penanggulangan klaster tersebut tidak hanya berada di tingkat pemerintah pusat saja, melainkan juga di level masing-masing daerah (prefektur dan kota).

Beberapa diantara kebijakannya adalah mengenai “menghindari 3Cs” dan saran target pengurangan 70-80 persen interaksi warga ketika status keadaan darurat. Dan tentunya, beberapa daerah memiliki kebijakan tambahannya masing-masing menyesuaikan keadaan penyebaran di daerah tersebut.

Bersama dengan tim ahli yang dibentuk pemerintah, tim penanggulangan klaster ini juga memberikan saran index yang digunakan pemerintah untuk memperpanjang atau mencabut status keadaan darurat. Sehingga kebijakan pemerintah bisa lebih terarah dan tepat sasaran.

Ketika PM Abe ingin mengumumkan kebijakan terkait Covid-19, pasti selalu dilakukan setelah mendapat persetujuan tim ahli tersebut.

Mungkin Jepang memang tidak memiliki badan atau lembaga besar untuk penanggulangan epidemi yang berskala besar seperti Centers for Disease Control and Prevention (CDC)-nya Amerika Serikat, KCDC-nya Korea Selatan, maupun CCDC-nya Tiongkok.

Akan tetapi, Jepang memiliki public health center (hoken center/hokenjo) yang tersebar di seluruh pemerintah kota, dimana masing-masing hokenjo memiliki perawat kesehatan masyarakat (public health nurse/hokenshi) dan ahli statistik (T?kei gijutsu-sha) yang terlatih secara spesifik untuk pencegahan penyakit menular, termasuk melakukan contact tracing.

Sehingga bisa dikatakan public health center yang ada di masing-masing kota adalah local CDC yang berperan penting dalam pengambilan kebijakan pencegahan dan pengendalian penyakit menular.

Menuju "New Normal"

Setelah pengakhiran status darurat dan melandainya kurva pertambahan kasus Covid-19, Jepang memasuki masa "new normal". New normal ini prinsipnya tetap dengan cuci tangan secara rutin, memakai masker, melakukan social distancing dan menghindari 3Cs.

Pemberlakuan new normal juga dilakukan secara bertahap berdasarkan kebijakan daerah masing-masing. Untuk Tokyo, mereka membagi menjadi beberapa tahapan.

Tahap pertama: pemerintah Tokyo mulai membuka fasilitas olah raga outdoor, institusi pendidikan, dan fasilitas kebudayaan (museum, perpustakaan, dan lainnya) dengan membatasi jumlah pengunjung. Diperbolehkan membuat event dibawah 50 orang.

Tahap kedua: mulai membuka fasilitas dimana tidak pernah terjadi kasus klaster sebelumnya dan bisa menghindari 3Cs. Pada step ini, diizinkan event dengan jumlah dibawah 100 orang. Saat ini Tokyo berada di tahap kedua dan masjid mulai diperbolehkan mengadakan sholat Jumat dengan pembatasan jumlah jamaah.

Tahap ketiga: mulai membuka fasilitas di mana pernah terjadi klaster Covid-19 namun resiko 3Cs rendah, seperti tempat hiburan, kafe dan game center. Pada tahap ini, diizinkan event dengan peserta dibawah 1.000 orang.

Sedangkan fasilitas yang rawan terjadinya 3Cs seperti sport gym, live music house dan karaoke baru dibuka setelah step ketiga ini.

Untuk menaikkan step-step diatas, setidaknya ada 3 indeks yang dipakai pemerintah Tokyo. Yaitu jumlah kasus baru (<20 orang/hari), persentase kasus yang tidak diketahui rute penularannya (<50%) dan tingkat kenaikan jumlah kasus positif per minggu (<1).

Jika ada satu atau dua indeks yang tidak tercapai, maka pemerintah Tokyo akan mengeluarkan tanda peringatan/alert ke warganya.

Pemberlakuan new normal bukan berarti tidak melakukan perbaikan pada kebijakan sebelumnya selama keadaan darurat. Apalagi dikhawatirkan gelombang selanjutnya, jika terjadi, akan jauh lebih besar dampaknya.

Untuk itu pemerintah Tokyo berencana meningkatkan fasilitas kesehatannya dan memperluas tes PCR.

Beberapa diantaranya dengan meningkatkan fasilitas test PCR 10.000 test/hari dari 3100 test/hari dan memperbolehkan pemeriksaan PCR melalui air liur yang terbukti memiliki tingkat keakuratan yang sama dengan test melalui swab tenggorokan.

Pemerintah Jepang, melalui Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan (MHLW), juga sedang melakukan test antibodi (IgG) di 3 prefektur (Tokyo, Osaka dan Miyagi) dan secara random kepada total 10.000 warganya.

Hasil tes ini akan dimanfaatkan untuk memformulasikan kebijakan tindakan pencegahan Covid-19-19 selanjutnya.

Walaupun Jepang sudah dikatakan berhasil menekan kurva kasus CoVID-19 saat ini, namun perjuangan melawan Covid-19 masih terus berlanjut.

Hingga saat ini, masih belum diketahui bagaimana membangun imunitas terhadap penyakit ini, begitu juga dengan masih belum ditemukannya vaksin sehingga akan masih sangat jauh sekali waktu yang dibutuhkan hingga kita kembali ke keadaan normal seperti sebelum wabah ini ada.

Artikel ini merupakan rangkaian kurasi tulisan ilmuwan diaspora Indonesia yang tergabung dalam I-4 (Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional) dan dikumpulkan oleh Dr. Sastia Prama Putri, Sekjen I-4.

Seri tulisan "New Normal" dari berbagai perspektif ilmuwan diaspora beberapa negara ini diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah dan masyarakat memasuki masa "kenormalan baru" di Indonesia.

https://www.kompas.com/edu/read/2020/06/14/215115771/i-4-diaspora-pelajaran-dari-jepang-dalam-penanganan-covid-19-dan-new-normal

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke