Dari 16 negara, sebanyak 68 persen pengguna internet menyadari bahwa media sosial merupakan tempat beredarnya disinformasi.
Disinformasi merupakan informasi yang keliru yang disebarkan dengan sengaja meski penyebarnya tahu informasi itu salah.
Media sosial yang dimaksud, seperti Facebook, YouTube, X atau Twitter, Instagram, TikTok, dan sejenisnya.
Di urutan berikutnya, sebanyak 38 persen dari sampel mendapat sebaran disinformasi dari aplikasi perpesanan dan 20 persen dari situs web atau aplikasi.
Baca juga: Hoaks Politik Ramai di Medsos, Bawaslu dan KPU Perlu Aktif Beri Edukasi
Adapun aplikasi perpesanan itu antara lain WhatsApp, Telegram, Messenger, dan Signal.
Sumber informasi lainnya, seperti radio, majalah, koran, dan diskusi langsung dengan orang dinilai lebih minim sebaran disinformasi.
Meski sebagian besar pengguna internet menjadikan media sosial sebagai sumber informasi utama, tetapi mereka menyadari dampak buruknya.
Hasil survei menunjukkan, sebanyak 85 persen warga negara merasa bahwa isu disinformasi adalah ancaman nyata.
Di negara dengan HDI tinggi, 88 persen responden menyatakan keprihatinan mengenai dampak dan pengaruh disinformasi terhadap sesama warga negaranya.
Kemudian, di 90 persen warga negara dengan tingkat HDI sedang dan rendah merasakan keprihatinan serupa.
Mereka bahkan lebih cenderung (87 persen) percaya bahwa fenomena ini telah membawa dampak besar terhadap kehidupan politik di negara mereka.
Baca juga: Bagaimana Perilaku Masyarakat dalam Menggunakan Media Sosial?
Dengan persentase sama, yakni 87 persen responden merasa khawatir mengenai dampak disinformasi terhadap pemilu di negara mereka.
Kekhawatiran paling tinggi dirasakan oleh negara dengan HDI rendah.