Hal ini membuat Magdalena sedih, terlebih ketika mendengar anak-anak dengan HIV mengungkapkan cita-citanya. Ada yang ingin menjadi polisi hingga dokter.
Magdalena mengatakan, beberapa anak di Rumah AIRA cukup berprestasi dan sering mendapat peringkat di sekolah. Oleh sebab itu, ia menegaskan, orang dengan HIV seharusnya bisa mendapat hak yang sama.
“Yang jelas anak dengan HIV atau orang dengan HIV itu sebenarnya sehat kok, asal nutrisinya baik, perawatan diri baik, minum obat antiretroviral teratur, setiap tahun sekali periksa laborat, CD4 sama viral load-nya bagus itu tidak akan menularkan. Itu yang harus masyarakat tahu,” kata dia.
Baca juga: 4 Tahap HIV Berkembang Menjadi AIDS
Berangkat dari keprihatinan itu, Magdalena berencana mendirikan sekolah soft skill bagi anak-anak dengan HIV.
Magdalena ingin anak-anak di Rumah AIRA bisa menemukan bakat dan minat supaya memiliki keterampilan ketika memasuki dunia kerja.
“Kalau anak-anak, ketika ditanya mau jadi apa, ada yang jadi polisi, dokter. Tapi kan dari cek kesehatannya mereka terpotong di situ karena positif HIV. Itulah yang membuat saya tergerak membuat sekolah soft skill khusus anak-anak HIV,” tutur Magdalena.
“Kami siapkan soft skill-nya sejak dini agar mereka punya kelebihan. Supaya mereka tidak kecewa ketika cita-cita utamanya tidak tersampaikan dan ini adalah program terdekat kami,” ucap perempuan kelahiran Semarang itu.
Persoalan lain yang dihadapi anak-anak dengan HIV yakni keterbatasan akses pelayanan kesehatan. Faktor ekonomi membuat sejumlah anak tidak bisa mendapat akses kesehatan yang memadai.
Padahal, anak dengan HIV perlu mengonsumsi makanan bergizi dan obat secara teratur. Selain itu, mereka juga perlu melakukan pemeriksaan medis dalam waktu tertentu.
"Sedih kalau lihat anak-anak dengan HIV dari kelas ekonomi bawah. Karena kan untuk makan sehari-hari saja mereka seadanya. Padahal kan anak perlu makanan bergizi di usia pertumbuhan," ujar Magdelana.
Baca juga: Kemenkes: 70,4 Persen Kasus HIV Ditemukan pada Kelompok Usia 25-49 Tahun
Selain menyediakan kebutuhan makan dan obat, Magdalena berencana membuka klinik bagi anak-anak dengan HIV supaya mereka bisa memperoleh akses kesehatan yang memadahi.
"Tahun depan kalau diizinkan oleh Tuhan saya ingin mendirikan klinik rawat inap khusus HIV. Kalau bolak-balik ke rumah sakit, waktu saya enggak sampai dan saya bisa capek banget," tuturnya.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada periode 2020 hingga September 2022, terdapat 12.553 anak di bawah usia 14 tahun yang terinfeksi HIV. Kebanyakan yang terkena HIV adalah anak di bawah usia 4 tahun dengan jumlah 4.764 orang.
Dari total 12.553 anak dengan HIV, hanya 7.800 yang mendapatkan pengobatan. Sisanya, tidak memiliki akses untuk berobat.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes, Imran Pambudi mengungkapkan, belum semua anak dengan HIV mendapat pengobatan. Imran tidak memungkiri, saat ini akses untuk mendapat pengobatan masih terbatas pada kalangan tertentu.
"Dari 12.500-an itu, yang sudah mulai pengobatan, itu baru sekitar 7.800-an. Jadi gap-nya juga masih cukup tinggi," ucap Imran, dalam konferensi pers secara daring, Selasa (29/11/2022).
Baca juga: Kemenkes: 12.553 Anak di Bawah 14 Tahun Terinfeksi HIV
Pemerintah berkomitmen untuk mengeliminasi HIV/AIDS hingga 0 persen pada 2030. Komitmen ini direalisasikan dalam target 95-95-95, yakni 95 persen ODHA mengetahui status HIV-nya, 95 persen ODHA diobati, dan 95 persen ODHA yang diobati mengalami supresi virus.
Namun hingga September 2022, target tersebut belum tercapai secara optimal. Hanya 79 persen orang dengan HIV mengetahui status HIV-nya, 41 persen sudah mendapat pengobatan, dan 16 persen pengobatan terhadap pasien mengalami depresi virus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.