Hal ini berbeda dengan Piala Dunia sebelum-sebelumnya yang diselenggarakan di pertengahan tahun dan tidak dibayangi dengan narasi ketakutan akan resesi.
"Mungkin secara ekonomi dukungan dari sponsor-sponsor kurang, karena di akhir tahun. Karena kan di akhir tahun secara hitungan bisnis mungkin budgeting sudah mau tutup. Jadi saya pikir secara finansial untuk banyak hal, agenda-agenda promo atau campaign itu agak kurang ya," ujar pria kelahiran Bandung tersebut.
Di samping itu, karena Piala Dunia 2022 Qatar merupakan yang pertama setelah pandemi, juga turut memengaruhi animo masyarakat dalam merayakannya.
Sebab, selama dua tahun terakhir masyarakat Indonesia mengalami pembatasan dalam berbagai kegiatan.
"Nobar (nonton bareng) yang mungkin orang masih ragu-ragu karena lama Covid, sehingga kebiasaan nobar itu kan hilang," kata dia.
"Jadi off-air off-air seperti itu tidak begitu terasa. Kalau dulu kan menggemanya baik di online maupun offline itu sama kaut. Tapi sekarang sepertinya ada perubahan itu," tutur Bung Towel.
Baca juga: Mengintip Proses Pembuatan Trofi Piala Dunia
Kurang menggemanya animo masyarakat dalam menyambut berlangsung Piala Dunia 2022 Qatar kemungkinan juga dipengaruhi sistem penyiaran oleh pemegang hak siar.
Kabarnya Piala Dunia 2022 Qatar hanya akan disiarkan melalui televisi digital, televisi kabel, ataupun dengan model langganan berbayar di aplikasi yang terkoneksi dengan internet. Apalagi, tayangan via penyiaran analog sudah sulit didapatkan masyarakat.
Hal ini berbeda dengan Piala Dunia sebelumnya yang bisa diakses secara gratis melalui melalui televisi analog.
Sehingga, tayangan bisa dijangkau oleh semua masyarakat, termasuk mereka yang berasal dari kelas menengah ke bawah di pelosok desa.
Sementara itu, sebagian besar masyarakat pun masih enggan mengeluarkan uang untuk berlangganan siaran sepak bola di aplikasi berbayar. Mereka keberatan dengan model siaran berbayar.
Baca juga: Lima Bintang Terancam Absen di Piala Dunia 2022, Seberapa Penting Perannya?
Dalam jejak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada 8-10 November 2022 hanya sekitar 23,1 persen responden yang setuju bahwa menonton pertandingan Piala Dunia harus berbayar.
Sementara, 70 persen responden tidak setuju dengan sistem langganan berbayar.
"Berganti ke digital dan harus berlangganan itu pasti menjadi handicap tersendiri bagi kalangan tertentu. Ya mungkin seperti itu, saya kan enggak tahu juga data pasti berapa jumlah analog yang masih beredar," kata Bung Towel.
"Tapi, hype euforia itu kan harus diciptakan jadi munculnya kan by design. Yang punya kepentingan sepertinya effort-nya tidak terlalu kelihatan. Promo atau campaign-nya juga kurang. Sejauh ini kalau saya lihat off-air off-air-nya juga kurang," tuturnya.