Bagi Poeze, nama Tan Malaka sejajar sejumlah tokoh berpengaruh di dunia, seperti Thomas Jefferson dan George Washington yang telah membangun Amerika Serikat.
“Ia lebih besar dari Plato yang hanya menciptakan 'Republik' di atas kertas. Tan Malaka ‘Bapak Republik’ yang paling mutakhir di dunia dan berdiri sangat dekat dengan Masaryk, Lenin, dan Washington," tulis Harry Poeze.
Kepandaian Tan Malaka dalam strategi politik pun pernah membuat Soekarno berpikir akan menunjuknya sebagai pengganti presiden, setelah Soekarno dan Hatta disebut-sebut akan diadili oleh Sekutu.
Akan tetapi, selama hidupnya Tan Malaka lebih banyak terlibat dalam gerakan bawah tanah dibandingkan tampil di depan secara terbuka. Berpuluh-puluh tahun ia menjadi buron baik di luar negeri maupun di Indonesia oleh orang yang tidak suka dengan gagasannya.
Baca juga: Tan Malaka: Masa Muda, Perjuangan, Peran, dan Akhir Hidupnya
Dalam pandangan Harry Poeze, pengalaman hidup berpuluh-puluh tahun diburu oleh agen rahasia negeri-negeri imperialis telah membuat Tan Malaka menjadi orang yang selalu waspada dan tertutup.
Bagi Tan Malaka kemerdekaan harus diperoleh seratus persen, tidak bisa melalui perundingan dengan penjajah. Pertempuran Surabaya telah meyakinkan Tan Malaka bahwa kemerdekaan harus diperjuangkan dalam revolusi rakyat.
Sejarawan Bonnie Triyana dalam buku Tan Malaka Bapak Republik yang Dilupakan (2010) menyebut bahwa sebenarnya ada dua kesempatan yang ditawarkan kepada Tan Malaka untuk tampil di panggung politik. Namun Tan Malaka menolaknya.
Tan Malaka menolak tawaran Soekarno untuk jabatan tidak resmi di luar kabinet pertama yang telah dilantik pada 4 September 1945. Tan Malaka menolak tawaran tersebut karena pemerintah dianggap masih berkolaborasi dengan Jepang.
Baca juga: Sejarawan Sarankan Buku Tan Malaka Jadi Bacaan Wajib Personel Polri
Kemudian Tan Malaka juga menolak tawaran Sjahrir menjadi Ketua Partai Sosialis karena alasan tidak mau satu partai dengan orang-orang yang masih berkompromi dengan kapitalis-imperialis.