"Ranah kepolisian ini kan terlalu luas. Dia mengurusi lalu-lintas, reskrim, keamanan, ketertiban, dan lain-lain. Nah itu perlu dievaluasi. Apakah kewenangan yang sangat luas itu sudah tepat dipegang oleh satu institusi? Karena itu sangat berkaitan," kata Erasmus, kepada Kompas.com, Rabu (5/10/2022).
Kemudian, Erasmus menyoroti pentingnya pengawasan ketat terhadap Polri dalam menjalankan tugas. Artinya perlu ada lembaga eksternal yang berfungsi mengawasi apabila terjadi dugaan pelanggaran hukum oleh polisi.
Di sisi lain, Erasmus berpandangan, mekanisme pengawasan yang selama ini dilakukan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tidak maksimal.
"Kompolnas itu dibubarkan saja. Kita perlu satu lembaga yang cukup kuat untuk mengawasi secara eksternal aparat penegak hukum kita," kata dia.
Baca juga: Ramai Tagar #PercumaLaporPolisi Dinilai Harus Jadi Momentum Reformasi Polri
Erasmus menjelaskan, lembaga pengawas eksternal ini bisa memiliki fungsi penuntutan, penyidikan, penyadapan, dan lain-lainnya, khusus terhadap penegak hukum dan hakim.
"Jadi kerjanya mengawasi, enggak usah menangkap kepala daerah yang kecil-kecil. Fokusnya di aparat hukum saja, salah satunya kepolisian," ucapnya.
Selanjutnya, Erasmus menyarankan soal pembenahan sistem rekrutmen anggota Polri. Dia mencontohkan, idealnya seorang penyidik kepolisian merupakan lulusan fakultas hukum.
"Penyidik enggak boleh lagi lulusan PTIK, dia harus lulusan hukum, paham hukum, bisa berdebat secara hukum baru jadi penyidik. Bukan lulusan SMA," kata Erasmus.
Dikutip dari Kompas.id, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto mengatakan, penanganan aparat dalam Tragedi Kanjuruhan perlu dievaluasi.
Dia berpandangan penanganan aparat cenderung arogan. Ini terlihat dari tendangan, pukulan, hingga kejaran aparat terhadap penonton dalam sejumlah video yang beredar pasca-kericuhan.
”Arogansi aparat masih berlebihan. Ini problem klasik di kepolisian. Artinya, reformasi kultural di kepolisian tidak berjalan dengan benar,” kata Bambang saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (4/10/2022).
Baca juga: Menyoal Pengamanan dan Penanganan Polisi Saat Tragedi Kanjuruhan
Bambang menilai, penggunaan gas air mata kepada penonton tidak tepat. Hal ini seperti menyamakan penonton dengan pengunjuk rasa. Sementara, penonton berhak atas kenyamanan dan keamanan.
Ia menuturkan, persiapan keamanan oleh aparat mestinya dimaksimalkan. Pihak kepolisian umumnya memiliki rencana pengamanan dan rencana kontingensi untuk mengamankan suatu agenda.
Rencana ini disusun berdasarkan informasi intelijen. Umumnya, kepolisian dapat mengukur potensi insiden dan mengantisipasinya berdasarkan informasi tersebut.
Jika insiden tetap terjadi, aparat mesti bertindak sesuai prosedur, seperti memberi peringatan tiga kali dan melokalisasi kerumunan. Tindakan lain yang bisa dilakukan adalah menggunakan water cannon.
”Dalam unjuk rasa, misalnya, ada water cannon, peluru karet, dan gas air mata yang bisa digunakan. Tapi, di Kanjuruhan kita tidak melihat upaya pendekatan yang lebih humanis. Padahal, penonton di pertandingan (sepak bola) itu beda sekali dengan pengunjuk rasa,” kata Bambang.
Baca juga: [KLARIFIKASI] Tragedi Kanjuruhan Bukan karena Ulah Rusuh Aremania
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.