Dikutip dari Kompaspedia, Kartini lahir 21 April 1879 di Mayong, Jepara. Ia merupakan perempuan berdarah ningrat Jawa.
Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah wedana Mayong, yang kemudian menjadi Bupati Jepara, sedangkan ibunya bernama MA Ngasirah.
Sang ibu merupakan seorang putri dari Nyai Hajjah Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara.
Kartini berasal dari keluarga ningrat yang telah bersentuhan dengan pendidikan ala Barat.
Baca juga: Kartini dan Pemikiran tentang Perempuan Berani, Mandiri, dan Penuh Perjuangan...
Oleh karena itu, pada 1885 Kartini disekolahkan di Europese Large School (ELS) yang membuatnya fasih berbahasa Belanda.
Namun, Kartini hanya bisa bersekolah sampai usia 12 tahun, karena ia harus menjalani masa pingitan atau "dikurung" di dalam rumah.
Setelah memasuki usia 16 tahun, Kartini dibebaskan dari masa pingitan. Kemudian, ia banyak belajar sendiri.
Lantaran menguasai bahasa Belanda, maka ia mulai belajar dan menulis surat kepada teman-temannya yang berasal dari Belanda.
Masa-masa dipingit ini digambarkan oleh Kartini dalam salah satu surat kepada kawan penanya di Belanda "seperti masuk kotak".
Kompas.com pada 21 April 2016 menulis, sejarawan Universitas Monash Dr Joost Cote (1995) menulis asal mula Kartini menjalin persahabatan pena.
Menurut Cote, korespondensi Kartini dengan sahabat pena di Belanda bermula dari bimbingan Marie Ovink-Soer, istri pegawai administrasi kolonial Hindia Belanda di Jawa Tengah.
Ovink-Soer pula yang mengenalkan Kartini kepada pergerakan feminisme di Belanda, termasuk jurnal "De Hollandshce Lelie".
Kepada jurnal itu, Kartini kemudian menulis bahwa dia mencari sahabat pena asal Belanda untuk bertukar pikiran. Pegawai pos di Belanda bernama Estella Zeehandelar pun menanggapi dan mengirim surat kepada Kartini.
Kartini pun mengungkap alasannya ingin bertukar pikiran dengan sahabat pena, dalam surat balasannya kepada perempuan yang disapa Stella itu tertanggal 25 Mei 1899.