Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Netralitas Presiden dalam Pilpres Diperlukan?

Kompas.com - 25/01/2024, 11:30 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Alinda Hardiantoro,
Ahmad Naufal Dzulfaroh

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Klaim Presiden Joko Widodo soal keberpihakan presiden dan menteri dalam pemilihan presiden menuai sorotan.

Menurut Jokowi, seorang presiden dan menteri boleh memihak atau berkampanye untuk calon tertentu.

"Kan demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Yang paling penting presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh," ujar Jokowi.

Namun, ia menegaskan bahwa presiden atau menteri harus cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara saat berkampanye.

Pernyataan ini pun seolah bertolak belakang dengan sikap Jokowi yang kerap mengimbau agar pemerintah, aparatur sipil negara (ASN), dan aparat keamanan untuk bersikap netral dalam pemilu.

Lantas, mengapa netralitas presiden itu penting?

Baca juga: Dua Sisi Jokowi, Tekankan Netralitas Pemerintah dan Aparat, tapi Nyatakan Presiden-Menteri Boleh Memihak

Menciptakan proses demokrasi yang adil

Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam mengatakan, komitmen dan etika kekuasaan pribadi presiden sangat dibutuhkan dalam situasi saat ini.

Pasalnya, netralitas presiden akan menjamin hadirnya proses demokrasi yang adil, terbuka, legitimate dan akuntabel.

Selain itu, netralitas presiden juga akan menekan potensi penyalahgunaan kekuasaan negara yang bisa menguntungkan atau merugikan kontestan tertentu.

Ia menjelaskan, presiden ditempatkan sebagai bagian dari warga negara yang memiliki hak politik dalam proses demokrasi.

Karenanya, dukungan presiden untuk calon tertentu yang diperbolehkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, adalah wilayah domain privat, bukan sebagai pejabat negara.

"Sehingga ketika ia memberikan dukungan politik, fasilitas negara yang boleh melekat kepada presiden hanya layanan kesehatan, pengamanan, dan protokoler, kata Umam kepada Kompas.com, Kamis (25/1/2024).

"Haram hukumnya menggunakan kekuasaan negara dalam bentuk apa pun untuk menguntungkan atau merugikan pihak tertentu," sambungnya.

Baca juga: Jokowi Sebut Presiden dan Menteri Boleh Kampanye, Ini Kata KPU

Potensi pengaburan domain privat dan publik

Sayangnya, ia menyebutkan bahwa presiden sering kali tidak bisa memisahkan antara domain privat dan domain publik.

Hal ini diperburuk dengan tak adanya regulasi tegas dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mengatur tentang konflik kepentingan.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com