Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tanggal Lahir 2 Pahlawan Indonesia Ini Jadi Hari Perayaan di UNESCO

Kompas.com - 06/12/2023, 08:00 WIB
Yefta Christopherus Asia Sanjaya,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Dunia (UNESCO) menjadikan tanggal lahir dua pahlawan Indonesia sebagai hari perayaan tingkat internasional.

Hal tersebut ditetapkan dalam penutupan Sidang Umum ke-42 UNESCO di Paris, Perancis, Rabu (22/11/2023).

Dua pahlawan Indonesia yang tanggal lahirnya dijadikan hari perayaan tingkat internasional yakni sastrawan AA Navis dan pejuang wanita asal Aceh Keumalahayati.

Dilansir dari laman Kemendikbud Ristek, penetapan tersebut sekaligus menjadi pengukuhan atas prestasi Indonesia dalam UNESCO selama sidang umum ke-42.

Sebelumnya, Indonesia telah ditetapkan sebagai anggota Dewan International Programme for the Development of Communication (IPDC).

Di sisi lain, diresmikan pula Indonesian Corner di markas besar UNESCO dan bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi sidang umum UNESCO.

Baca juga: Pedang Pangeran Diponegoro Ditemukan di Gudang Museum Belanda


Profil AA Navis dan Keumalahayati

Baik Navis dan Keumalahayati yang tanggal lahirnya dijadikan perayaan tingkat internasional oleh UNESCO punya kontribusi masing-masing bagi Indonesia. 

Berikut profil Navis dan Keumalahayati selengkapnya.

1. Profil AA Navis

Dilansir dari laman Kemendikbud, Ali Akbar Navis atau AA Navis adalah seorang penulis dan budayawan terkemuka Indonesia.

Ia lahir di Padangpanjang, Sumatera Barat pada 17 November 1924. Navis adalah anak pertama dari lima bersaudara.

Perjalanan Navis sebagai penulis dimulai ketika ia memutuskan untuk tidak merantau dan tetap tinggal di kampung halamannya.

Navis mulai menggemari dunia karang-mengarang ketika orangtuanya berlangganan majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat.

Kedua majalah tersebut berisi cerita pendek dan cerita bersambung di setiap edisinya Kegemaran Navis akan membaca kemudian diketahui oleh ayahnya, St. Marajo Sawiyah.

Marajo mendukung kegemaran Navis tersebut lalu memberikan uang kepada buah hatinya supaya bisa membeli buku bacaan yang digemari.

Baca juga: Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Resmi di UNESCO, Dipakai 27 Penutur dan Warga di 52 Negara

Perjalanan karier AA NAvis

Navis sempat menempuh pendidikan di Indonesisch Nederiandsch School (INS).

Setelah tamat dari jenjang tersebut, ia belajar sendiri secara otodidak dan mulai mengembangkan intelektualnya melalui kegemarannya dalam membaca.

Dari situlah, Navis mulai menulis kritik dan esai di mana ia menyoroti kelemahan cerpen Indonesia dan menelusuri kekuatan cerpen asing.

Kelemahan pada cerpen Indonesia kemudian diperbaiki oleh Navis dengan memadukannya dengan cerpen asing.

Namun, perjalanan karier Navis sebagai penulis baru diakui pada 1955 saat cerpennya terbit di beberapa majalah, seperti Roman, Kisah, Budaya, dan Mimbar Indonesia.

Navis juga pernah menulis novel sandiwara untuk beberapa stasiun RRI, seperti Stasiun RRI Bukittinggi, Padang, Palembang, dan Makassar.

Sebelum tutup usia pada November 2004 di Rumah Sakit Pelni, Jakarta, Navis telah menciptakan berbagai karya sejak tahun 1980-an.

Berikut beberapa karya Navis:

  • Robohnya Surau Kami (kumpulan cerpen), Jakarta: Gramedia, 1986
  • Hujan Panas dan Kabut Musim (kumpulan cerpen), Jakarta: Jambatan, 1990
  • Dermaga dengan Empat Sekoci (kumpulan 34 puisi), Bukittinggi: Nusantara
  • Saraswati si Gadis dalam Sunyi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1970
  • "Memadukan Kawasan dengan Karya Sastra", Suara Karya, 1978.

Baca juga: Mengenal Sumbu Filosofi Yogyakarta yang Jadi Warisan Dunia UNESCO

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com