Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cukai Rokok Naik, Bisakah Menurunkan Jumlah Perokok di Indonesia?

Kompas.com - 10/11/2022, 11:30 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok resmi mengalami kenaikan sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kenaikan tarif CHT diberlakukan pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek pangan (SKP) akan berbeda sesuai dengan golongannya. 

"Rata-rata 10 persen, nanti akan ditunjukkan dengan SKM I dan II yang nanti rata-rata meningkat antara 11,5 hingga 11,75 (persen), SPM I dan SPM II naik di 12 hingga 11 persen, sedangkan SKP I, II, dan III naik 5 persen," kata dia, Kamis (3/11/2022).

Sri Mulyani menyebutkan, salah satu pertimbangan kenaikan ini adalah target penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen dan menekan konsumsi rokok yang menempati urutan teratas kedua konsumsi rumah tangga setelah beras.

Meski kenaikan CHT bukan yang pertama kalinya, apakah menaikkan CHT efektif menurunkan jumlah perokok?

Baca juga: Cukai Rokok Naik, 4 Tahun Petani Tembakau Kondisinya Terpuruk

Penjelasan sosiolog

Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Drajat Tri Kartono mengatakan, instrumen harga tidak bisa menyelesaikan pengendalian kebiasaan merokok.

Sebab menurutnya, faktor yang memengaruhi orang untuk memulai atau mempertahankan kebiasaan merokok bisa bermacam-macam.

"Misalnya, faktor di luar harga itu adalah pertemanan atau grup. Di dalamnya mereka tak perlu membeli tetapi dibagi," kata Drajat kepada Kompas.com, Kamis (10/11/2022).

Pada usia remaja, ia menyebut kebiasaan merokok lebih ke arah representasi banyak teman dan simbol kedewasaan.

Karenanya, kebutuhan-kebutuhan rokok yang berlaku pada anak muda lebih ke arah pengakuan, bukan sekadar menikmati rokoknya.

"Sehingga harga itu bisa dikompromikan. Nanti kalau mereka sudah berpenghasilan, barulah akan beli sendiri," jelas dia.

"Jangankan harga, rokok dipromosikan sebagai ancaman atau risiko besar terhadap kesehatan juga tidak mempan," sambungnya.

Baca juga: Cukai Rokok Naik, Kemenkeu: Dampaknya ke Tenaga Kerja Minimal

Drajat menjelaskan, kontrol terhadap harga ini akan bertentangan. Sebab, kenaikan CHT di sisi lain juga dinikmati oleh negara.

Dengan begitu, akan terbangun logika struktural bahwa kenaikan tarif cukai rokok tidak sekadar mengurangi kebiasaan merokok, tetapi juga menaikkan pendapatan negara.

Menurutnya, relasi antara kepentingan negara dan industri rokok ini kemudian terlihat sangat jelas.

"Jadi sepanjang industri ini masih memproduksi dan negara masih mengizinkan, maka tidak akan selesai. Karena kepentingan industri untuk memproduksi berapa pun, itu pasti laku," ujarnya.

Variabel yang mungkin bisa dijadikan patokan untuk mengukur penurunan jumlah perokok adalah mengendalikan jumlah produksi. Bukan harga jual rokok. 

"Bukan berapa harganya, tetapi berapa yang harus diproduksi. Kalau produksinya tetap besar, ya tetap ada strategi marketing untuk mensukseskan itu dan selalui bersesuaian dengan cukai yang didapat negara," kata dia. 

KOMPAS.com/Dhawam Pambudi Infografik: Beda Rokok dan Vape

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com