KOMPAS.com - Kenaikan harga bahan bakar (BBM) subsidi di Indonesia menuai gejolak di tengah masyarakat.
Aksi demonstrasi pun bermunculan di berbagai daerah.
Selain aksi demo BBM dari kalangan mahasiswa, massa buruh juga melakukan aksi unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM di depan Gedung DPR, Jakarta Pusat, Selasa (6/9/2022).
Dengan membawa spanduk panjang, mereka menuntut tiga hal yakni tolak kenaikan BBM, tolak Omnibus Law, dan naikkan UMK/UMS sebesar 13 persen.
Baca juga: UPDATE Harga BBM Pertalite hingga Pertamax di Seluruh Indonesia Mulai Hari Ini
Diketahui kebijakan kenaikan harga BBM membuat harga pertalite naik menjadi Rp 10.000 per liter dari semula Rp 7.650, dan Solar dari Rp 5.150 naik menjadi Rp 6.800.
Anomali justru terjadi di negara tetangga Malaysia. Mereka diketahui menurunkan harga BBM pada minggu lalu.
Kementerian Keuangan Malaysia mengumumkan harga eceran untuk bensin dengan RON97 mengalami penurunan sebesar lima sen, dari yang semula 4,35 ringgit Malaysia per liter menjadi 4,30 ringgit Malaysia per liter, dikutip dari Malaymail, Rabu (24/8/2022).
Hingga pekan selanjutnya pada 1-7 September 2022, Pemerintah Malaysia belum mengumumkan harga BBM terbaru.
Baca juga: Simak, Berikut Tips agar Mobil Irit BBM
Mengapa demikian?
Saat dikonfirmasi, Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Saleh Abdurrahman mengatakan, perbedaan kebijakan yang diambil oleh Indonesia dan Malaysia erat berpengaruh kepada besaran subsidi yang dikeluarkan masing-masing negara.
Menurut dia, terdapat beberapa alasan mengapa sebuah negara mampu memberikan subsidi yang cukup besar untuk BBM.
Di antaranya yakni kemampuan fiskal, jumlah konsumen yang mendapat subsidi, dan peran subsidi itu dalam menstimulus perekonomian serta mengurangi dampak inflasi.
"Jangan dibandingkan dengan Malaysia saja, yang lain juga. Semakin murah, boleh jadi subsidi semakin besar per liternya," ujarnya kepada Kompas.com, Senin (5/9/2022).
Baca juga: Menilik Harga BBM di Filipina, Malaysia, Thailand, dan Singapura
Hal senada juga diungkapkan oleh pakar ekonomi UGM Eddy Junarsin.