Oleh: Zen Wisa Sartre dan Fandhi Gautama
KOMPAS.com - Mencatat memang terkesan mudah atau sederhana. Padahal, mencatat adalah salah satu kegiatan manusia yang paling berdampak. Dari situ, kita dapat memperluas pengetahuan hingga pengalaman hidup.
Apabila tidak ada yang mencatat, tidak akan ada yang tahu bahwa Usain Bolt adalah pelari 100m tercepat di dunia dengan rekor 9.58 detik. Kemudian, di Olimpiade Tokyo 2020, Aleksandra Miroslaw dari Polandia menjadi pemanjat tebing tercepat di dunia setelah mencatatkan waktu 6.84 detik.
Akan tetapi, rekor-rekor itu tidak hanya ada di dunia atau berkisar pada bidang olahraga saja. Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) sebagai lembaga swadaya masyarakat bertugas menghimpun data dan menganugerahkan prestasi superlatif dan karya masyarakat Indonesia.
Sebut saja masyarakat Lombok yang pernah mencatat rekor kesenian gendang beleq yang dimainkan oleh 4.000 orang. Lalu, Pemerintah Kota Palembang yang menjalankan program Sedekah Subuh dan diikuti serentak oleh 11.079 ASN.
Baca juga: Kisah Street Artist Gindring Waste yang Inspiratif
Akan tetapi, bagaimana catatan rekor menjadi kekayaan intelektual dan warisan budaya? Mengapa catatan rekor-rekor itu penting? Jaya Suprana, Pendiri MURI, akan menjawab sekaligus memaparkannya dalam siniar bertajuk “Melahirkan MURI Imbas Sakit Hati” yang tayang di Spotify.
Jaya mengungkapkan bahwa rekor-rekor yang dicatat kebanyakan sifatnya kuantitas, bukan kualitas. Akan tetapi, rekor-rekor tersebut menjadi pemantik atas kesadaran masyarakat terkait budaya dan warisan intelektualnya. Terlebih, Indonesia memiliki keanekaragaman budaya dan warisan intelektual.
Jaya menekankan budaya dan warisan sastra, khususnya puisi dari wilayah timur, masih jarang disentuh. Padahal, sastra nusantara merupakan corak atau wajah dari negara kita.
Eksistensi Indonesia direpresentasikan oleh budaya dan warisan sastranya. Misalnya saja, kita dapat mengenal nilai dan moral masyarakat Makassar dengan menonton teater tradisional Kondobuleng.
Begitu juga dengan Pepaosan, yaitu puisi tradisi lisan masyarakat Lombok yang kerap dirangkaikan dalam acara pernikahan, khitanan, dan tolak bala.
Jaya menyadari bahwa budaya dan warisan intelektual, contohnya Kondobuleng dan Pepaosan, dapat hilang apabila dibiarkan dan tidak mendapat apresiasi. Kesadaran Jaya itu mencerminkan bahwa sastra tidak hanya dikonsumsi sebagai hiburan semata, melainkan juga menginspirasi.
Jaya mengakui bahwa dirinya dipengaruhi kisah Mahabarata, Ramayana, dan cerita-cerita silat. Menurut Jaya, cerita-cerita yang sifatnya fiktif itu mampu memberinya inspirasi.
Bahkan, pria itu mengungkapkan dirinya sangat menyukai kesenian wayang. Jaya mengisahkan dirinya pernah membina sanggar kesenian wayang untuk mengekspresikan jiwa seni dan kedekatannya dengan budaya Jawa.
Baca juga: Berapa Waktu Olahraga yang Ideal agar Panjang Umur?
Inspirasi dan kedekatan Jaya dengan kebudayaan lokal juga tercermin ketika dirinya ditanya cikal bakal MURI. Jaya merasa sakit hati karena ditolak saat ia membawa batik ke kancah dunia.
Dari penolakan tersebut, Jaya mendirikan MURI untuk mengapresiasi budaya dan warisan intelektual lokal.