Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Polemik Gunung Padang

Kompas.com - 07/08/2022, 07:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEMULA Gunung Padang berada di luar jangkauan wawasan pengetahuan dangkal saya tentang arkeologi Nusantara.

Saya mulai mengenal Gunung Padang baru pada masa Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden Republik Indonesia.

Namun setelah SBY tidak lagi menjadi presiden, terkesan secara lambat tapi pasti Gunung Padang melenyap dari permukaan kesadaran peradaban bangsa Indonesia masa kini.

Terdorong oleh semangat Kebangaan Nasional saya merasa prihatin atas kesan bahwa Gunung Padang telah dilupakan oleh masyarakat Infonesia.

Padahal telah timbul dugaan arkeologis bahwa Gunung Padang merupakan warisan kebudayaan Nusantara dengan nilai sejarah setara dengan tiga piramida Giza sebagai warisan kebudayaan lembah sungai Nil, Zigurrat sebagai warisan kebudayaan Mesopotamia, Mohenjo Daro sebagai warisan kebudayaan lembah sungai Indus, Wanli Changcheng sebagai warisan kebudayaan China.

Pada hakikatnya Gunung Padang merupakan warisan kebudayaan lembah sungai Citarum. Maka saya mengundang maha guru arkeologi Nusantara saya, Prof Agus Ari Munandar untuk menjadi narasumber acara gelar wicara Jaya Suprana Show untuk berbicara tentang Gunung Padang.

Prof Munandar dengan rendah hati menyatakan diri beliau bukan ahli Gunung Padang, maka mengajak Dr Ali Akbar sebagai pakar yang telah meneliti Gunung padang berperan sebagai narasumber pendamping Prof Agus Munandar pada Jaya Suprana Show dengan tema Polemik Gunung Padang.

Ternyata gelar wicara Polemik Gunung Padang berlangsung seru, apalagi setelah DR Lufti Yondri dari Balai Arkeologi Jawa Barat bergabung untuk menyampaikan pendapat dari hasil penelitian beliau tentang Gunung Padang.

Dari gelar wicara Polemik Gunung Padamg dapat disimpulkan bahwa masyarakat pemerhati kebudayaan Ibdonesia khususnya Gunung Padang pada masa kini terbelah menjadi dua kubu.

Kubu yang satu meyakini bahwa Gunung Padang merupakan situs arkeologis dengan usia lebih tua ketimbang peradaban Mesopotomia apalagi Mesir kuno.

Sementara kubu yang satu lagi meyakini bahwa Gunung Padang sekadar situs petilasan arkeologis “biasa-biasa” saja akibat tidak terlalu tua usia. Bahkan diduga lebih muda ketimbang candi Borobudur.

Sudah barang tentu perbedaan pendapat para ahli justru merupakan kelaziman di dalam ilmu pengetahuan terutama yang terkait sejarah, arkeologi dan paleontologi yang (terpaksa) mengutamakan hipotesa.

Perbedaan pendapat justru merupakan daya enerji hakiki yang melekat pada ilmu sejarah, arkeologi dan paleontologi mau pun kosmologi yang sementara ini memang masih belum bisa melepaskan diri dari asumsi maka cenderung hipotesis.

Namun sejarah juga lah yang telah membuktikan bahwa cukup banyak pendapat arkeologis kandas maka lenyap dalam perjalanan waktu bak bunga yang layu sebelum berkembang bukan akibat tidak benar, namun sekadar akibat dipolitisir.

Begitu banyak pemikiran para Ilmuwan Yahudi sengaja dibungkam demi dimusnahkan oleh rezim Nazi Jerman di bawah komando Adolf Hitler.

Sehingga terjadi gejala “braindrain” di mana begitu banyak ilmuwan Yahudi seperti Albert Einstein, Sigmund Freud, Otto Loewi, Max Bergmann meninggalkan Jerman untuk berkarya di luar Jerman.

Sebagai warga Indonesia yang bangga atas warisan kebudayaan bangsa Indonesia, dari lubuk sanubari terdalam saya tulus mengharap agar penelitian arkeologis Gunung Padang jangan sampai kandas apalagi musnah di tengah perjalanan sejarah hanya akibat dipolitisir belaka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com